Menuju Aktualisasi dan Pembaharuan Doktrin Islam

Monday, August 11, 2008


REKONSTRUKSI PEMIKIRAN TAFSIR SAYYID QUTB
Oleh: Asif Trisnani

Proyek min al-turats ila al-waqi’ yang sering digembor-gemborkan oleh Hassan Hanafi adalah merupakan paradigma dan kata kunci dalam memberikan interpretasi terhadap sebuah karya turats Islam. Berangkat dari keprihatin Hassan Hanafi terhadap hegemoni intelektual masyarakat Islam yang hanya berkutat di wilayah langit (tsurat) tanpa menyentuh persolaan-persoalan bumi (waqi’), sehingga pada tataran akhir, turats hanya sekedar khazanah klasik yang dikultuskan, tanpa upaya-upaya konstruktif untuk menjawab persoalan-persoalan actual dalam masyarakat. Realitas sosial bagi Hassan Hanafi merupakan persoalan prioritas untuk mendapatkan perhatian bagi para pembaharu Islam.
Tafsir, yang merupakan instrumen utama dalam upaya menjawab persoalan-persoalan umat, nampaknya harus segera ditemukan konsep atau teorinya. Hal ini berangkat dari pertanyaan yang sering disampaikan oleh Hassan Hanafi: “hal ladaina nazariyah fi al-Tafsir?”, adalah kegelisahan seorang pemikir Islam atas teori dan metodologi tafsir klasik yang kurang banyak menyentuh persoalan-persoalan sosial, teori dan metodologi ini sering disebutnya dengan istilah “tafsir thuli” (tafsir tahlili). Pada saat yang sama, Hassan Hanafi menawar konsep dan metode tafsir tematik (tafsir maudzu’i), yang menurutnya lebih bisa menjawab permasalahan kekinian (waqi’).
Sayyid Qutb—menurut Hassan Hanafi—merupakan salah satu icon seorang ahli tafsir kontemporer yang menyuguhkan secara menarik model tafsir yang berusaha menjawab permasalahan aktual pada masa dituliskannya tafsir fi Dzilal al-Qur’an dan karya-karya tafsir lainnya. Realitas sosial yang sering disebutnya sebagai jahiliyah modern (jahiliyah haditsah) memerlukan reformulasi dan rekonstruksi yang mengarah kepada terbentuknya masyarakat Islam ideal, bersandar pada al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw. Maka membaca pemikiran tafsir Sayyid Qutb tidak bisa lepas dari historitas dan perkembangan pemikiran Sayyid Qutb secara umum. Hassan Hanafi memaparkan bahwa perkembangan pemikiran Sayyid Qutb terbagi atas tiga periode, yang ini menurut penelitian penulis sekedar pengulangan dari apa yang telah disampaikan oleh Shalah Abdul Fattah Khalidi dalam bukunya:”Madkhal ilaa Dzilal al-Qur’an”, ketiga periode tersebut adalah:
Pertama: periode sastra, yaitu periode dimana penafsiran al-Qur’an harus melalui pintu ilustrasi artistic (taswir fanni) dan apresiasi astetic (tadzawwuq jamali). Pada periode inilah terlahir dua karya tafsir yang memiliki corak sastra, yaitu al-Taswir al-Fanni fi al-Qur’an dan Masyahid al-Qiyamah fi al-Qur’an. Dan merupakan periode embrio Tafsir fi Dzilal al-Qur’an.
Kedua: periode keislaman umum, yaitu peride dimana penafsiran al-Qur’an dimaksudkan untuk bisa memberikan konstribusi bagi perkembangan pemikiran Islam secara umum, teori pembaharuan pemikiran keislaman, yang bersandar pada konsep reformasi sosial (al-ishlah al-ijtima’i) dan solidaritas sosial (al-takaful al-ijtima’i). Dari periode inilah terlahir karya yang berjudul: al-Adalah al-Ijtima’iyah fi al-Islam.
Ketiga, periode jihad dan pergerakan, yaitu periode dimana terjadi benturan antara pemikiran Islam dengan pemikiran jahiliyah modern yang diidentikkannya dengan pemikiran Barat, sehingga terlahir ide-ide pergerakan melawan hegemoni Barat. Pada periode inilah lahir sebuah karya momentalnya: ma’alim fi al-Thariq.
Sementara pada tataran metodologi, Hassan Hanafi menawarkan tiga metodologi utama dalam rangka mengkaji pemikiran tafsir sastra Sayyid Qutb, yaitu:
Pertama: metode ta’tsir wa taatsur, ini dimaksudkan bahwa sebuah pemikiran tafsir yang sudah terejawantahkan dalam sebuah karya tafsir, harus selalu memeperhatikan totalitas latar belakang kehidupannnya, masyarakatnya dan kondisi politik yang melingkupinya. Sehingga sebuah karya apapun tidak terlahir begitu saja, tetapi ada pengaruh dan saling mempengaruhi antar apa aja yang berada di dalam maupun di luar dirinya. Inilah yang sering disebut oleh Amin Khuli sebagai dirasah ma fi al-Nas wa ma haula al-Nas. Begitu pula bagaiamana antar karya yang satu dengan lainnya saling mempengaruhi, sehingga perlu juga dilakukan kajian mendalam melalui metode intertekstual.
Kedua: metode sejarah, bagaimanapun juga sebuah karya selalu lahir dari rahim sejarah. Baik sejarah sosial yang terjadi pada masa tersebut, maupun sejarah individu Sayyid Qutb. Metode dan pendekatan ini dimaksudkan agar tidak terjadi kesalahan dalam membaca pemikiran Sayyid Qutb, karena bagaimanapun juga dalam penafsiran Sayyid terdapat interrelasi kuat antara pemikiran dan realitas sejarah sosial. Ini diharapkan adanya akumulasi antara pemikiran dan sejarah, sehingga melahirkan sebuah pemahaman yang obyektif terlepas dari bias-bias sentimental.
Ketiga: metode sastra, mengingat judul tesis ini adalah membahas tentang trend Sastra dalam sebuah karya tafsir, maka sudah semestinya—menurut Hassan Hanafi—dikaji melalui pintu sastra. Terutama bagaimana metode ilustrasi artistic tersebut berperan dalam melahirkan sebuah karya tafsir, bagaiamana pertautan antara sastra, tafsir dan realitas sosial, bagaimana unsur khayal menjadi unsur pokok dalam penafsiran, di samping unsur-unsur sastra lainnya.
Ketika Hassan Hanafi melontarkan pertanyaan: dimanakah sebuah makna berada, di lafdz ataukah dalam dzihn? Nampaknya Sayyid Qutb telah panjang lebar membahas permasalahan tersebut. Dalam penafsirkan ayat-ayat al-Qur’an Sayyid Qutb berpendapat bahwa sebuah makna memang berada dalam setiap benak masing-masing mufassir, sehingga sebuah karya tafsir tidak akan bisa lepas dari subyektifitas setiap mufassir tersebut, tetapi sebuah tafsir tidak bisa mengabaikan begitu saja factor lafdznya. Karena keberadaan sebuah lafdz sangat berperan menciptakan kompleksitas pemaknaan. Apalagi jika sebuah karya tafsir ditulis melalui pendekatan bahasa dan sastra, maka keberadaan lafdz sangat menentukan arah sebuah hasil penafsiran.

baca selengkapnya..


SUNNAH DAN TANTANGAN MODERNITAS
Oleh Asif Trisnani

Muqaddimah
Sunnah sebagai landasan dasar kedua setelah Alquran, secara historis tidak terlepas dari polemik yang meliputinya, baik proses otentifikasi statusnya —dalam hal ini adalah peletakan metodologi kodifikasi Hadits— maupun kajian kritis materi-materinya (kritik matan Hadits), yang diprakarsai oleh kalangan ortodoks (salafi) maupun kalangan modernis. Kalangan ortodoks lebih menekankan pada sisi kristalisasi Sunnah dari intervensi luar dengan menggunakan metodologi tertentu yang dikenal dengan sebutan Ilm Musthalāh al-Hadîts. Sementara kelompok modernis lebih menekankan pada proses kontekstualisasi Sunnah (melalui historisitasnya) yang diharapkan mampu menjelma menjadi sebuah tradisi baru dalam kancah peradaban Islam, proses ini dalam istilah fikih dapat dijadikan sebagai pembuka pintu ijtihad. Karena kita menyadari bahwa sebuah peradaban yang berjalan di sebuah masyarakat tidak akan terlepas dari sumber awal dimana peradaban itu muncul atau berkembang, proses yang begitu panjang telah mengakibatkan banyak perubahan pada sisi-sisi tertentu, baik perubahan yang bersifat substansial maupun deskripsi-deskripsi luarnya (formal). Pada perkembangan akhir-akhir ini muncul berbagai upaya dari beberapa kelompok untuk mengintroduksikan artikel-artikel yang berisi dekonstruksi atas metode tafsir yang telah mapan dalam sejarah ilmu tafsir. Metode tafsir para Ulama Salaf (Ahl al-Sunnah) yang melibatkan penafsiran dengan bersandar pada Sunnah Nabi Saw. dianggap klasik, tradisional dan tidak kontemporer, sehingga banyak pesan ayat Alquran terpasung oleh penafsiran tekstual. Sementara konteks peradaban menuntut adanya berbagai penyesuaian signifikan. Namun, kajian-kajian tersebut belum menguraikan metodologinya secara komprehensif, sehingga apa yang mereka upayakan hanya sekedar menguraikan belenggu yang mengikat akal manusia saja, belum ada sebuah jalan keluar yang mengiringi pemikiran tersebut. Kita masih perlu menyadari bahwa proses rasionalisasi tidak hanya melepaskan akal dari belenggunya, akan tetapi akal memiliki obyeknya sendiri yang harus dinampakkan. Misalnya, ketika akal tidak mampu menjangkau untuk memikirkan dzât Ilâhi, hal tersebut tidak lantas harus melepaskan diri dari agama agar bebas berpikir tentang Tuhan, akan tetapi memunculkan sebuah kesadaran akan terbatasnya akal. Teori tentang hermeneutika penafsiran —umpamanya— harus memperhatikan batas-batas mana yang bersifat qoth‘ al-dilâlah dan mana yang dzonni, sehingga dengan sebijaksana mungkin akal dapat memahami pesan Ilahi yang tertuang dalam teks.
Hal tersebut tidak jauh berbeda dengan teks kedua agama Islam yaitu Sunnah Nabi Saw, apa yang menjadi sejarah perjalanan Nabi hanya sekedar uraian tradisi biasa seorang manusia yang diberi keunggulan dalam akal. Jean Jacques Rousseau mengatakan bahwa Sunnah merupakan sebuah produk kejeniusan dan kemampuan akal Muhammad, yang diberi kelebihan-kelebihan dari manusia yang lainnya, inilah yang mengilhami saya untuk menulis sebuah catatan kecil ini sebagai usaha pengenalan secara integral terhadap pola dasar dan gaya hidup Nabi Saw. yang —semoga mampu— memberikan sedikit kontribusi pemikiran terhadap kedua teks tersebut. Kita masih perlu untuk mendalami Islam itu sendiri sebelum mengatakan bahwa pada tataran riil agama telah membawa manusia pada kehidupan konservatif, stagnan, terlebih lagi mereka yang selalu perpegang teguh kepada teks agama dianggap hidup dalam pilar-pilar tradisional. Mereka yang membebaskan akal dari pengaruh-pengaruh agama dianggap modernis. Sehingga disinilah timbul sebuah kerancuan antara tradisionalis dan modernis. Padahal mereka yang menganut paham rasioanalisme secara historis merujuk pada masa yang lebih awal dari kemunculan Islam yaitu masa Yunani. Proses introduksi tradisi Nabi itu sendiri sebenarnya adalah sebuah upaya menuju pada pengenalan munculnya peradaban Islam. Akar peradaban Islam adalah teks Alquran dan Hadits, serta beberapa literatur sejarah yang mengiringnya..
Namun perlu disadari bahwa ketika dunia mulai terbuka, dan ketika Islam hadir lagi diatas pentas percaturan internasional, munculah istilah ‘kultus martir’ yang hidup dalam bentuk lain. Martir kini bukan lagi orang-orang kristen yang masuk ke masjid dan mencaci-maki Nabi Saw, tetapi orang-orang Islam sendiri yang melakukan pekerjaan mereka, Nageeb Mahfud, Salman Rusydi. Bahkan ada yang menyarankan jika anda ingin dihargai sebagai intelektual katakanlah sedikit tentang keburukan umat Islam, lebih bagus lagi kalau anda berhasil menunjukan betapa ‘terbelakangnya’ ajaran Islam. Bagaimana jika ada orang Barat yang menampilkan Islam dengan apa adanya? Conor Crusie O’brien menulis: “Seorang Barat yang menyatakan kagum pada masyarakat Islam sambil perpegang pada nilai-nilai Barat bisa jadi hipokrit atau ‘jâhil’ atau kedua duanya”. Kini kultus tersebut diungkapkan dengan pembelaan matian-matian para penghina Islam yang lahir dari lingkungan kebudayaan Islam dan menyerang matian-matian para pembela Islam yang lahir dari lingkungan peradaban Barat. Tulisan ini berusaha memunculkan deskripsi internal Islam yang mengacu pada literatur-literaturnya. Boleh jadi kesalahpahaman (misunderstanding) interpretasi Barat terhadap Islam muncul akibat kurangnya proporsi dalam sebuah perspektif. Atau dengan kata lain masih berhenti pada tataran religiusitas (ekspresi keagamaan), sementara hal-hal yang berhubungan dengan religiusitas masih sangat subyektif. Salah satu acuan dalam menemukan peta keislaman adalah dengan melihat literaturnya dan diantaranya adalah: Sunnah Saw.

Urgensi Wahyu dan Akal dalam Sunnah
Dialektika perilaku Nabi Saw, selama hidupnya terus-menerus menjadi perhatian para sahabat. Dimensi wahyu selalu melekat pada dirinya, sementara pada sisi lain, ia diberi kelengkapan dengan akal yang matang untuk digunakan dalam penyebaran agama Islam. Para sahabat Nabi Saw.—dengan kadar yang berbeda— berusaha membentuk tingkah lakunya sesuai dengan tingkah laku Nabi Saw. Beliau berulangkali menyuruh shahâbat menirunya. Dalam hal shalat misalnya, Nabi saw. bersabda, "Shalatlah kalian seperti kalian melihat aku shalat." Dalam hal haji, beliau juga bersabda "Ambillah dari aku manasik kalian." Sesekali Nabi saw. menegaskan, perilakunya itu sunnah yang harus diikuti, "Nikah itu sunnahku. Siapa yang berpaling dari sunnahku ia tidak termasuk golonganku." Gaya hidup, tingkah laku, ucapan yang sedemikian rupa apakah muncul dengan kekuatan imajinasinya sendiri, ataukah datang dengan pelantaraan informasi wahyu? Disinilah pokok pembahasannya, Muhammad adalah Rasul sekaligus manusia biasa, ketika dominasi kerasulan muncul, maka taklîf (pembebanan) ketaatan harus dijalankan, karena sumbernya adalah wahyu (dalam hal ini adalah penyampaian risâlah kenabian ) sementara ketika beliau berada di luar wahyu, maka yang berbicara adalah akal sehatnya (ijtihad Nabi Saw), dimana hal tersebut memiliki potensi benar dan salah.
Tidak bisa dielakkan bahwa Rasul melakukan ijtihad pada permasalahan-pemasalahan duniawi. Bahkan Rasulpun pernah melontarkan statemen kepada para al-shahâbah bahwa "kamu lebih tahu tentang masalah-masalah dunia", artinya shahâbah-pun mendapatkan legitimasi untuk melakukan ijtihad dalam permasalahan dunia, apalagi Rasul yang sudah dilengkapi oleh Allah dengan beberapa variabel pelengkap, diantaranya: keluasan ilmu, kekuatan pemahaman, kesatuan kecerdasan dan ismah (penjagaan). Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa Nabi yang al-ma'sûm (infallible) hanyalah berkenaan dengan tugasnya menyampaikan wahyu dari Tuhan saja, sebagai manusia biasa pernah melakukan kesalahan, hanya saja menurutnya, seorang Nabi bila ternyata melakuan kesalahan akan segera melakukan tobat. Atau disini boleh ditafsirkan bahwa tidak menutup kemungkinan bahwa Rasul melakukan kesalahan dalam ijtihadnya namun dengan serta merta Allah menegurnya dan kemudian membenahi kesalahan tersebut. Pada salah satu Hadits disebutkan: Bahwa pada suatu hari Rasulullah Saw. berlalu di muka kebun seorang Ansar di pinggiran kota Madinah, lalu beliau menganjurkan kepada orang Ansar tersebut (pemilik kebun ), untuk mempergunakan suatu sistem tertentu mengenai pengawinan pohon kurma, namun Rasulullah mendapati orang Ansar itu, setelah beberapa waktu kemudian, telah meninggalkan sistem pengawinan kurma yang dianjurkan oleh beliau, karena sistem yang dianjurkan itu tidak memenuhi hasil yang maksimal, sebagaimana yang diharapkan oleh orang Ansar tersebut. Nabi Muhammad Saw membenarkan apa yang dilakukan oleh orang Ansar itu, dengan menyatakan dengan segera bahwa eksperimen yang dilakukan sendiri itu harus didahulukan dari pikiran individu sekalipun yang mempunyai pikiran itu Nabi Sendiri
Sementara kalau kita kembali pada interpretasi sunnah yang mencakup perkataan, perbuatan, keputusan.dan sifat-sifat Nabi Saw., maka sebenarnya ada peluang besar bagi umat Islam untuk melakukan ijtihad, hal tersebut dapat dibuktikan ketika Amru bin Ash melakukan tayammum dalam kondisi sakit, Rasulpun tidak melarangnya, ini berarti bahwa apapun yang dilakukan shahâbat asal tidak menyimpang dari teks dan mendapatkan kesepakatan dari Nabi Saw., maka dapat dikatakan sebagai sunnah Nabi. Ini berarti bahwa dalam dunia sekarang peluang ijtihad amat besar, terhadap masalah-masalah yang secara eksplisit agama belum menyebutnya. Gaya tradisi yang semacam ini (sunnah taqrîriyah) merupakan peluang umat untuk melakukan ijtihad asalkan masih berada pada koredor teks agama.

Otentifikasi Sunnah
Sebuah kesadaran spiritual akan selalu mengajak kepada jalan kebenaran, sementara dokumen agama yang dapat dijadikan rujukan adalah Alquran, dan apabila kita secara eksplisit tidak menemukannya, maka kita mencarinya di Sunnah Nabi Saw. atau apabila kita menghadapi masalah-masalah baru yang timbul dalam perkembangan Islam, maka yang menjadi acuan kita adalah Sunnah. Hal tersebut selaras dengan pendapat Fazlur Rahman yang mengatakan, bahwa untuk membuka pintu ijtihad, kita harus mulai dari peninjauan ulang terhadap kedua teks yang dimiliki oleh Islam. Beberapa orang orientalis berpendapat, sunnah adalah merupakan praktek atau tradisi kaum muslim pada zaman awal. Sebagian kandungan sunnah berasal dari kebiasaan Jâhiliyah (pra-Islam) yang dilestarikan dalam Islam. Sebagian lagi hanyalah interpretasi para ahli hukum Islam terhadap sunnah yang ada, ditambah unsur-unsur yang berasal dari kebudayaan Yahudi, Nasrani (tradisi Ibrahimiyah), Romawi, dan Persia.
Ketika gerakan Hadits muncul pada Abad 3 Hijrah, seluruh sunnah dinisbahkan kepada Nabi Saw., dan disebut "Sunnah Nabi". Fazlur Rahman mengkoreksi pandangan orientalis ini dengan menegaskan beberapa point: pertama, bahwa kisah perkembangan Sunnah di atas hanya benar sehubungan dengan kandungannya, tapi tidak benar sehubungan dengan konsepnya yang menyatakan sunnah Nabi tetap merupakan konsep yang memiliki validitas dan operatif, sejak awal sejarah Islam hingga masa kini. Kedua, kandungan sunnah yang bersumber dari Nabi tidak banyak jumlahnya dan tidak dimaksudkan bersifat spesifik secara mutlak. Ketiga, konsep sunnah sesudah Nabi wafat tidak hanya mencakup sunnah Nabi, tapi juga penafsiran-penafsiran terhadap sunnah Nabi tersebut. Keempat, sunnah dalam pengertian terakhir ini, sama luasnya dengan ijma’' (konsensus ulama’) yang pada dasarnya merupakan sebuah proses yang semakin meluas secara terus-menerus. Kelima, setelah gerakan pemurnian Hadits yang besar-besaran, hubungan organis di antara sunnah, ijtihad, dan ijma' menjadi rusak.
Jadi, para shahâbat pada periode awal Islam selalu memperhatikan perilaku Nabi Saw.. sebagai teladan. Mereka berusaha mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari. Setelah Nabi Saw. wafat, berkembanglah penafsiran individual terhadap teladan Nabi itu. Boleh jadi sebagian sahabat memandang perilaku tertentu sebagai sunnah, tapi sahabat yang lain, tidak menganggapnya sunnah. Dalam "free market of ideas," pada daerah tertentu seperti Madinah, Kuffah, berkembang sunnah yang umumnya disepakati para ulama di daerah tersebut. Ada sunnah Madinah, ada sunnah Kuffah. Secara berangsur-angsur, pada daerah kekuasaan kaum muslim, berkembang secara demokratis sunnah yang disepakati (amr al-mujtama' 'alaih). Karena itu, sunnah tidak lain daripada opni pablik. Ketika timbul gerakan Hadits pada paruh kedua Abad ke-2 Hijrah, sunnah yang sudah disepakati kebanyakan orang ini, diekspresikan dalam Hadits. Hadits adalah verbalisasi sunnah. Sayangnya, menurut Fazlur Rahman, formalisasi sunnah ke dalam Hadits ini, telah memasung proses kreatif sunnah dan menjerat para ulama Islam pada rumus-rumus yang kaku. Walaupun landasannya yang utama adalah teladan Nabi, Hadits merupakan hasil karya dari generasi-generasi muslim. Hadits adalah keseluruhan aphorisme yang diformulasikan dan dikemukakan seolah-olah dari Nabi oleh kaum muslimin sendiri dengan cara ortografi pararel; walaupun secara historis tidak terlepas dari Nabi. Sifatnya yang aphoristik menunjukkan bahwa Hadits tersebut tidak bersifat historis (a-historis). Secara lebih tepat Hadits adalah komentar yang monumental mengenai Nabi oleh umat muslim di masa lampau. Walhasil, setelah kaum muslim awal secara berangsur-angsur sepakat menerima sunnah, mereka menisbatkan sunnah itu kepada Nabi Saw. Kemudian, mereka merumuskan sunnah itu dalam bentuk verbal. Inilah yang disebut Hadits. Bila sunnah adalah proses kreatif yang terus menerus, Hadits adalah pembakuan yang kaku. Ketika gerakan Hadits unggul, ijma' (yang merupakan opini publik) dan ijtihad (yang merupakan proses interpretasi umat terhadap ajaran Islam) menjadi tersisihkan. Sehingga menurutnya, Hadits yang merupakan bentuk verbal dari Sunnah itu bersifat kaku dan tidak ada unsur dialektika yang tertuang dalam Hadits. Hal tersebut benar apabila kita sebagai umat Islam hanya melihat pada sebuah teks yang kita anggap sebagai hukum positif, sementara teks selalu beriring dengan sejarah, asbâb al-nuzûl, al-nâsikh wa al-mansûkh maupun interpretasi-interpretasi rasional. Kita akan mengatakan bahwa kisah tentang sikap Umar bin Khathab untuk tidak memotong tangan pencuri pada kondisi terdesak itu adalah bijaksana walaupun secara literal bertentangan dengan tradisi Nabi.
Tidak heran jika dalam proses verbalisasi tersebut melahirkan sebuah intervensi ra'yu (pendapat) yang disinyalir oleh kelompok modernis sebagai proses kreatifitas, sementara yang lain menganggapnya sebagai bias-bias melemahnya otentisitas. Dominasi ra'yu abad ke-3 H. sangat ditopang oleh hilangnya catatan-catatan tertulis. Untuk memperparah keadaan, tidak adanya rujukan tertulis menyebabkan banyak orang secara bebas membuat Hadits untuk kepentingan politis, ekonomi, atau sosiologis. Abu Rayyah menulis, "Ketika hadits-hadits Nabi Saw. tidak dituliskan dan para sahabat tidak berupaya mengumpulkannya, pintu periwayatan hadits palsu terbuka baik untuk orang taat maupun orang sesat, yang meriwayatkan apa saja yang mereka inginkan tanpa takut kepada siapapun." Pendeknya, hilangnya catatan-catatan Hadits telah menimbulkan dominasi ra'yu, yang kemudian disebut sunnah. Sehingga pada periode Umar bin Abdul Aziz pencatatan Hadits dapat dirintis dan puncak kesempurnaanya adalah pada abad ke-3 H. yang dipelopori oleh Bukhari dan Muslim.
Panjangnya rangkaian periwayatan hadits telah memungkinkan orang-orang untuk menambahkan kesimpulan dan pendapatnya pada hadits-hadits. Tidak mengherankan, bila Fazlur Rahman sampai kepada kesimpulan, Hadits adalah produk pemikiran kaum muslim awal untuk memformulasikan sunnah. Sunnah pada gilirannya kelihatan sebagai produk para ahli hukum Islam, yang kemudian dinisbahkan kepada Nabi Saw. Inilah yang disebut dengan Hadits palsu (al-hadîts al-maudlu’i), namun dengan proses otentifikasi yang tajam dengan al-qâ’idah musthalâhiyah (kaedah terminologis) kumpulan catatan-catatan Hadits dapat diklasifikasikan sesuai dengan kadar kekuatannya pada abad ke-3 H. tersebut dengan seleksi yang ketat. Dengan resiko menafikan beberapa Hadits yang tidak sesuai dengan kategori shahîh walaupun boleh jadi hal tersebut benar-benar dari Nabi Saw.
Studi kritis Barat terhadap evolusi Hadits yang menghasilkan skeptisisme total para sarjana Barat terhadap Hadits, pertama kali dilakukan oleh Ignaz Goldziher (Muhammad Anische Studien vol. 2, hale 1890), dan belakangan dipertegas oleh Joseph Schacht (The Origins of Muhammadan Jurisprudence, Oxford, 1952). Tetapi jauh sebelum para sarjana Barat mengotak-atik Hadits, Sir Sayyid Ahmad Khan, berdasarkan kajian historisnya, telah mengungkapkan skeptisismenya terhadap keaslian Hadits, sekalipun terhadap himpunan-himpunan Hadits Shahih.

Modernitas dan Tantangannya
Secara etimologis pengertian modernitas berasal dari kata "modern" dan makna umum dari kata modern adalah segala sesuatu yang bersangkutan dengan kehidupan masa kini. Lawan dari modern adalah kuno, yaitu segala sesuatu yang bersangkutan dengan masa lampau. Jadi modernitas adalah pandangan yang dianut untuk menghadapi masa kini. Selain merupakan sebuah pandangan, modernitas juga merupakan sikap hidup. Yaitu sikap hidup yang dianut dalam menghadapi kehidupan masa kini. Kalau kita berbicara tentang masa kini, maka yang dimaksudkan adalah waktu sekarang dan masa depan. Pengertian modernitas, yaitu pandangan dan sikap hidup yang bersangkutan dengan kehidupan masa kini yang banyak dipengaruhi oleh peradaban modern. Sedangkan yang dimaksudkan dengan peradaban modern adalah peradaban yang terbentuk mula-mula di Eropa Barat, kemudian menyebar di seluruh dunia Barat (West). Dengan begitu dapat pula dinamakan peradaban Barat.
Peradaban Barat mempunyai dampak besar terhadap modernitas, oleh karena peradaban Barat pada masa kini merupakan peradaban yang dominan di sana. Sebagaimana dalam periode antara abad 6—16 M, peradaban Islam mempunyai pengaruh yang besar dalam kehidupan umat manusia di sekitar Laut Tengah, dan kemudian meninggalkan dampaknya kepada pembentukkan peradaban Barat, demikian pula di masa kini, seluruh kehidupan umat manusia tidak dapat lepas dari pengaruh peradaban Barat yang secara agresif dan dinamis memasuki seluruh pelosok dunia. Sebab itu, untuk mengenal dan mengembangkan modernitas tidak mungkin tanpa mengenal unsur-unsur utama peradaban Barat.
Yang dimaksudkan peradaban modern adalah peradaban Barat yang terbentuk setelah bangsa-bangsa Eropa melampaui masa Abad Pertengahan. Term "modern" di sini adalah "Eurocentrism" atau "Barat sentris" karena sepenuhnya bersangkutan dengan kehidupan bangsa-bangsa di Eropa terutama di Eropa Barat. Bangsa Eropa membagi sejarahnya dalam tiga periode: pertama, Zaman Klasik, yang berlangsung awal abad 1—5 H. Kedua, periode Abad Pertengahan, antara abad ke-5—16 M. Ketiga, adalah Zaman Modern, dari abad 16—masa kini. Peradaban modern adalah peradaban Barat yang terbentuk pada Zaman Modern. Oleh karena itu, sejak abad ke-16 M., dunia Barat berhasil melebarkan sayapnya ke seluruh dunia, dan pada abad ke-20 berada pada titik puncak kemampuannya. Seba itu, pengaruh atau dampak peradaban modern itu terasa dimana-mana, baik dalam arti positif maupun negatif. Peradaban modern itu terbentuk pada abad ke-16 melalui satu perubahan yang penting di Eropa Barat yang dinamakan Renaissance yang berarti kelahiran kembali. Yaitu kelahiran kembali hasil-hasil budaya Yunani dan Romawi. Dalam Abad Pertengahan, hasil budaya Yunani dan Romawi telah diabaikan di Eropa. Gerakan yang bernama ‘Humanisme’ kemudian diungkapkan kembali pemikiran yang telah dikembangkan di Yunani Lama, seperti pemikiran Aristoteles, Plato, dan lain-lain. Pengungkapan kembali pikiran Yunani dan Romawi itu dimungkinkan oleh persentuhan Eropa Barat dengan budaya Islam yang dalam Abad Pertengahan justru sedang berkembang dengan megah dan memasuki Eropa Barat melalui Spanyol. Humanisme dan Renaissanse itulah yang menjadi sumber utama terbentuknya peradaban Barat modern.
Persentuhannya dengan peradaban Islam, pengungkapan kembali konsep-konsep modernitas —humanisasi, renaisance, rasionalisasi, adopsi pikiran Yunani dan Romawi— pasti menimbulkan dampak pada dunia Islam terutama pada paradigma berfikir masyarakatnya. Hal ini melahirkan —dalam dunia Islam— apa yang disebut dengan ‘modernisasi peradaban Islam’. Jargon-jargon ini selalu diusung oleh kaum modernis Islam sebagai upaya menuju peradaban Islam yang maju (menurut versi Barat). Maka, ketika modernisasi tersebut digulirkan maka timbul berbagai ekspresi religiusitas yang beragam. Muncullah teori hermeneutika penafsiran teks, liberalisasi, historiologi dan lain-lain. Sementara di sisi lain, kaum ortodoks cenderung mempertahankan tradisi Islam klasik yang berpegang teguh pada teks, baik Alquran maupun Hadits. Kaum Islâmiyûn berusaha mengekspresikan kata modern dalam dunianya, terlepas dari ikatan-ikatan moral yang diusung Barat. Mereka meyakini bahwa era modern yang lahir di Barat muncul setelah mereka mampu mengadopsi khazanah ilmu-ilmu Islam. Maka terbagilah, dalam kubu tradisionalis, menjadi dua kelompok: pertama, kelompok reaksoiner. Mereka cenderung menentang pembaruan. Kedua, kelompok yang menerima pembaruan dengan melibatkan unsur-unsur kritis terhadap masyarakat –baik dalam politik maupun sosial- tanpa mengubah pandangan dunia tradionalnya
Namun dalam tataran realistis kita tidak dapat memungkiri bahwa pengaruh dan dampak dari peradaban Barat tidak dapat ditolak oleh siapa saja, mengingat dinamika dan agresifitas yang telah dikembangkan sejak abad ke-16 itu. Jadi jelas, bahwa jargon modernisasi muncul sebagai usaha westernisasi dimana Barat sebagai pusatnya. Sunnah yang dalam hal ini adalah merupakan wujud dari aplikasi peradaban Timur (Islam) harus melakukan proses modifikasi untuk menyesuaikan kondisi tersebut. Tidak heran jika kaum modernis Islam selalu menjargonkan kontektualisasi agama, karena sedikit banyak mereka sudah terpengaruh oleh paradigma Barat. Dalam dunia tekstual terjadi pula transformasi ilmu-ilmu modern (baca: logika) yang dilakukan oleh al-madrâsah al-‘aqliyah (Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridla). Mereka cenderung menginterpretasikan teks, baik Alquran maupun Hadits, dengan menggunakan logika. Kita telah berada pada posisi Barat ketika pengadopsian literatur-literatur Islam terjadi secara besar-besaran. Dari bentuk-bentuk transformasi mengasumsikan bahwa adopsi dari dunia Barat adalah modern, sementara tetap pada posisi literatur sendiri dianggap konservatis, fundamentalis, tradisonal,dan lain-lain. Kita mungkin belum dapat menggunakan istilah yang tepat untuk peradaban di Jepang, yang dalam tataran praktis bisa dikatakan setaraf dengan konsep modern di Barat walaupun dengan cara tetap mempertahankan tradisinya.
Dalam wacana hubungan antagonis antara Barat dan Islam, kita perlu melihat bahwa yang diserang para orientalis dan pemikir Barat pada hakekatnya bukanlah Islam itu sendiri – meskipun kalangan tertentu masih memandang demikian– akan tetapi hanya beberapa aspek sekunder potret diri dan pandangan dunia tradisional Islam. Aspek inilah yang besar kemungkinannya dikikis oleh kelompok modernis Islam. Maka dalam mengadapi tantangan modernitas paling tidak ada dua konsepsi: pertama, tetap berpegang teguh pada teks dan nilai-nilainya. Kedua, dalam usaha pencapaian perkembangan dan kemajuan peradaban Islam, tetap perlu adanya transformasi pemikiran Barat dengan tidak menghilangan kaedah-kaedah nilai ajaran Islam, sehingga sunnah dapat dikatakan (dalam karya-karya Joseph schacht) sebagai ‘tradisi yang hidup’ dan tetap mengambil peluang interpretasi dalam dimensi ruang maupun waktu.

Ikhtitâm
Ketika kita sedang giat melakukan Islamisasi ilmu, budaya, ekonomi, hukum, dan masyarakat, kita harus merujuk pada Hadits atau sunnah (tentu saja sesudah al-Qur'an). Bahkan ketika merujuk pada Alquran pun, kita harus melihat Hadits sebagai penjelasanya. Pembaruan pemikiran Islam atau reaktualisasi ajaran Islam, harus mengacu pada teks-teks yang menjadi landasan dasar ajaran Islam. Semua orang sepakat pentingnya Hadits dan sunnah dalam merealisasikan ajaran Islam. Yang sering kita lupakan adalah bersikap kritis terhadap keduanya. Sikap kritis ini seringkali dicurigai akan menghilangkan Hadits atau sunnah. Kita lupa bahwa kritik terhadap keduanya telah diteladankan kepada kita oleh para ulama terdahulu. Bila para pembaharu Islam terdahulu memulai kiprahnya dari kritik terhadap Hadits dan sunnah, mengapa kita tidak mau melanjutkannya? Konon Imam Bukhari bermimpi, ia duduk di hadapan Rasulullah Saw, dan di tangannya ada kipas untuk mengusir lalat agar tidak mengenai tubuh Nabi Saw. Ketika ia bertanya kepada ‘orang-oang pandai’ apa arti mimpi itu, mereka berkata, "Anda akan membersihkan Hadits Nabi Saw. dari kebohongan." Inilah yang mendorong Bukhari mengumpulkan hadits-hadits yang sahih saja, dengan membuang ribuan hadits yang dianggap al-al-dha'if (lemah). Namun setelah sunnah berbentuk verbal maka hal tersebut harus mendorong kita untuk menterjemahkannya dalam bahasa modern, sebuah masa dimana dalam tataran realitas tidak dapat kita pungkiri akan keberadaannya.
Tantangan modernitas adalah sebuah keniscayaan yang tidak dapat kita hindarkan. Bias-biasnya mampu mempengaruhi kehidupan kita baik melalui paradigma pemikiran maupun tata kehidupan kita. Kita belum bisa keluar dari kukungan istilah bahwa mereka yang masih mempertahankan tradisi (sunnah) adalah konservatif, fundamentalis, radikal. Sementara kita lupa bahwa mereka yang modern, rasionalis pada satu sisi tertentu pun berada pada posisi yang sama. Jadi apa sebutannya, ketika suatu saat konsepsi semacam mempertahankan tradisi Islam mampu mempengaruhi seluruh lini kehidupan baik di Timur maupun Barat dan membawanya kepada kemajuan? Jadi saya yakin bahwa sebenarnya siapa lebih kuat merekalah yang berhak menamai suatu masa dan peradaban. Kalau kelompok literalis mampu mendominasi peradaban dunia, maka dunia akan berkiblat padanya. Tidak heran jika John L. Esposito mensinyalir akan adanya sebuah ancaman Islam (bagi dunia Barat) .

baca selengkapnya..




Sufisme; Analisa Pemahaman Mistik al-Sunnah
Asif Trisnani




Wahai.... Engkau yang melihatku sedang aku tidak melihatMu,
betapa sering aku lihat Dia, sedang Dia tidak melihat saya

(Wahai.…Engkau yang melihatku telah banyak berbuat dosa, sedangkan aku tidak melihatMu menyalahkan atas perbuatanku itu, betapa sering saya melihat Dia mencurahkan RahmatNya, sedangkan Dia tidak melihat saya berusaha mendapatkan Rahmat itu).
Ibn Arabi

1. Mengapa Sufisme?

Trend spiritual yang berkembang di dunia Islam, merupakan salah satu refleksi untuk menepis formalisme keberagamaan masyarakat kita pada era modern. Mengapa harus sufisme? Pertanyaan ini mungkin cukup relevan dilontarkan berkenaan dengan hegemoninya masyarakat tersebut. Berbagai macam aliran pemikiran ditawarkan. Sufisme—secara terminologis—merupakan istilah yang sudah muncul pada kurun awal perkembangan Islam yang lebih dominan beroperasi pada wilayah “sama’”, sementara kondisi tersebut telah banyak mendapatkan kritik dari para pemikir kontemporer, karena merupakan salah satu dari trend spiritual yang jauh dari jangkauan logika manusia dan sulit dipahami doktrin ajarannya. Bahkan kelompok rasionalisme materialis menganggap sebagai salah satu penyebab kemunduran peradaban Islam. Akhirnya perlu difikirkan bahwa sufisme harus banyak mengalami perubahan meanstream dan penerapannya guna mencapai sebuah perkembangan, disebabkan tuntutan zaman. Maka munculah neosufisme, faham yang secara etimologis memiliki arti “faham sufi baru”. Faham baru ini mencoba menghindarkan diri dari jebakan kesalihan simbolik. Pada sisi lain, faham sufi baru ini juga harus lebih terbuka "menerima" tafsir kebenaran, dari mana pun datangnya. Inilah yang menjadi potensi pengembangan kehidupan beragama yang lebih toleran dan inklusif.

Kalau kita tarik benang hijau (untuk mengganti istilah benang merah) Sebenarnya, sudah sejak zaman Rasulullah saw. sendiri telah terdapat kelompok para Sahabat Nabi yang lebih tertarik kepada hal-hal yang bersifat lebih batiniah itu. Misalnya, kelompok ahl al-Shuffah, yaitu sejumlah Sahabat yang memilih hidup sebagai faqir dan sangat setia kepada masjid. Tidak heran bahwa kelompok ini, dalam literatur kesufian, sering diacu sebagai teladan kehidupan saleh di kalangan para Sahabat. Walupun kesalehan tersebut lebih banyak diekspresikan dengan ''pengunduran diri'' dan sikap penuh kepasrahan kepada Sang Pencipta. Hal tersebut memang bisa mengesankan kepasifan dan eskapisme. Akan tetapi, sebagai dorongan hidup bermoral, pengalaman mistis kaum Sufi sebetulnya merupakan suatu kedahsyatan. Karena itulah ajaran Tasawuf juga disebut sebagai ajaran akhlak. Dan akhlak yang hendak mereka wujudkan ialah yang merupakan ''tiruan'' akhlak Tuhan, sesuai dengan sabda Nabi yang mereka pegang teguh, ''Berakhlaklah kamu semua dengan akhlak Allah.'' Sekali lagi, mengapa sufisme di era modern ini?. Nasr Hamid Abu Zaid pernah melontarkan persoalan yang serupa: limadza Ibn Arabi al-aan? Permasalahannya mungkin cukup sederhana, bahwa Ibn Arabi yang muncul pada abad ke-7 hijrah telah merubah paradigma berfikir kaum sufi pada waktu itu dengan perangkat-perangkat filsafat walaupun tidak meninggalkan kesan dogmatisnya. Ajaran pantheistiknya telah banyak membuka mata para pemikir Islam pada waktu itu di Sepanyol, sehingga iapun bisa digambarkan sebagai seorang filosof bertipe tidak beraturan, gayanya mendua (ambiguous) yang mungkin—kata prof. Browne—“dari tujuan yang sudah ditentukan”. Apakah masih cukup relevan kita mengadopsi pemikiran-pemikiran Ibn Arabi pada sebuah era yang telah mengalami kemajuan tekhnologi ini?. Pertanyaan inipun akan juga kita lontarkan pada sufisme secara khusus. Sebuah aliran—yang sudah terlanjur—dideklarasikan sebagai aliran eskapisme, sementara perlu disadari bahwa dominasi suatu aliran pada zaman sekarang adalah mana diantara aliran-aliran tersebut yang lebih dapat disentuh oleh masyarakat sosial. Di sinilah perlu mengadopsi pemikiran sufi baru (neosufisme). Kelompok ini jelas merupakan komunitas yang muncul pada saat hegemoni barat sangat dominan. Ajaran ini sengaja tidak terlalu menampakkan legal formal peribadatan spiritual, akan tetapi lebih memusatkan pada masalah sosial. Tauhid tidak hanya diartikan sebagai upaya legitimasi pengesaan terhadap Allah dengan ucapan dan ibadah formal. Perlu sebuah kesadaran mendalam akan tauhid sosial. Hal tersebut banyak diutarakan oleh Jalaluddin Rahmat dalam kumpulan makalah-makalahnya (lihat: Reformasi Sufistik). Disitu banyak sekali dikupas permasalahan-permasalahan ketimpangan sosial. Apakah seorang muslim yang taat beribadah (pergi haji dan umrah tiap tahun) sementara tetangga dekatnya hidup dalam kekurangan, bisa dikatakan benar tauhidnya?. Apakah seorang politikus dan pejabat masih mampu tetap bilang ‘Allah melihat’ pada situasi perpolitikan yang sangat kacau? neosufisme menawarkan ketika kita bersedekah, tidak hanya sekedar tangan kanan memberi sementara tangan kiri tidak tahu dan ikhlas, akan tetapi neosufisme menawarkan bahwa tangan kanan memberi sementara tangan kiri tahu dan tetap ikhlas. Neosufisme mencoba menawarkan agar seseorang tidak hanya sekedar menyendiri (uzlah) dalam beribadah untuk mendapatkan nilai kekhusu’an, akan tetapi dalam suasana yang hiruk-pikuk ia tetap khusu’. Dan masih banyak lagi tawaran-tawaran yang lain.

Pada kondisi yang lain, kita perlu menyadari bahwa kelompok ini serta merta bukanlah aliran eskapisme murni, sebab masih ada titik kepedulian untuk tetap berinteraksi dengan teks agama, khususnya sunnah, terutama dalam rangka memberikan kontribusi pada proses pemahamannya. Maka makalah ini akan berusaha membahas hal tersebut, untuk kemudian kita save dalam file alam pikir kita. Masih adakah relevansinya dengan alam kita sekarang? Masihkah kita memandang sebelah mata terhadap warisan khazanah Islam ini?

2. Sufi dan Periwayatan Hadits
a. A’lam Sufi

Abad ke-3 bisa dipandang sebagai abad pencerahan dalam proses kodifikasi hadits, di mana ketika ajaran-ajaran Muhammad saw. disampaikan dengan lesan secara berskala, telah banyak menimbulkan persepsi bahwa hadits akan kehilangan otentifikasi dan validitasnya. Hal tersebut cukup beralasan, sebab telah muncul berbagai aliran pemikiran—setelah wafatnya Muhammad saw—yang secara subyektif telah banyak menganulir muatan-muatan verbal ucapan-ucapan atau tingkah lakunya untuk kepentingan sesaat terutama dalam masalah politik dan sekte. Historitas Syi’ah dan Muktazilah secara jelas telah membuktikan hal tersebut. Ekspresi yang muncul dalam permukaan tak ubahnya seperti debu yang bertebaran di udara, tak jelas mana debu tanah, mana debu bedak seorang wanita atau mana debu kotoran keledai yang telah mengering. Semua nampak sama, tak ada bedanya satu sama lainnya. Maka kontribusi para ahli hadits pada abad ketiga ini benar-benar telah membuka mata umat Islam akan validitas dan orisinelnya ajaran Islam yang dibawa oleh Muhammad saw.

Pada situasi yang berbeda, dipinggiran desa, di gubuk-gubuk tua dan di pojok-pojok masjid, bersemayam kelompok yang menamakan dirinya sebagai kaum sufi. Kelompok ini secara struktural tidak memiliki garis penghubung secara jelas kepada pendahulunya karena subyektifitasnya yang dominan. Setiap pribadi seakan memiliki aliran pemikirannya dan statusnya yang sangat privat. Konsentrasi komunal pada masalah ibadah, dzikir dan fadzail al-a’mal, telah menyebabkan kelompok ini tidak memiliki potensi banyak untuk meriwayatkan hadits. Manshur bin ammar (w. 225 H.) yang terkenal sebagai ahli tasawuf dan akhlaq ini, disepakati hanya memiliki tiga periwayatan hadits yang terambil dari para pendahulunya seperti: Ma’ruf abi al-Khatab, Ibn al-Asqa’, Laits bin Saad, Abdullah bin Luhai’ah dan lain-lainnya. Dzahabi dan Abu Hatim memberi komentar bahwa Manshur bin Ammar banyak melakukan pencampuran hadits. Lebih keras lagi Ibn Adiy mengatakan bahwa dia adalah termasuk munkir al-sunnah. Basyar bin al-Harits al-Hafi (L. 150 H.) yang tekenal sebagai ahli zuhud inipun tidak banyak memberikan kontribusi dalam periwayatan hadits. Pada awalnya ia telah melakukan periwayatan yang mirip dilakukan oleh Ahmad bin Hambal dengan mengambil hadits dari waqi dan Isa bin Yunis serta lain-lainnya. Periwayatan yang dilakukannya, lebih memperhatikan pada ketsiqohan muhaddits dan hanya mengambil hadits yang memiliki ittisal al-sanad. Walaupun sufi ini pada akhirnya membenci periwayatan. Al-Harits al-Muhasibiy (w. 243 H.) yang terkenal dengan ahli tasawuf sunni inipun tidak lebih dari tiga hadits yang diriwayatkannya. Diantaranya adalah hadits yang dia ambil dari Yazid bin Harun yang berbunyi : “atsqalu maa yuudza’u fii al-miizaan husnu al-khuluq”. Abu al-Qosim al-Junaed (w. 297 H.) adalah salah seorang sufi yang mampu menggabungkan antara tasawuf dan Syari’ah. Dia tidak jauh berbeda dengan Basar bin Harits yang membenci periwayatan hadits. Selama hidupnya ia hanya meriwayatkan satu hadits saja yang diambil dari al-Hasan bin Urfah. Hadits tersebut berbunyi: ihdzaruu faraasata al-mu’min fainnahu yandzuru binuurillahi ta’ala. Wa qara’a: (inna fii dzaalika la aayatin li al-mutawassimiin)”. Kata “Farasah” (dalam hadits tersebut) diartikan sebagai sifat yang mesti bagi seorang arif. Setelah ditanya tentang maksud ‘arif’ ia mengatakan bahwa arif adalah orang yang berbicara tentang rahasia seserang sedang orang tersebut diam saja. Dan saya pikir kondisi para sufi pada abad dua atau abad ketiga tidak jauh berbeda dengan para sufi tersebut.

b. Metodologi Sufi dalam Periwayatan Hadits

Pada kurun awal, ketika secara langsung para sahabat mendengar hadits dari Rasulullah saw mereka sepakat akan “pentingnya menyampaikan” hadits tersebut dan “amanat menyampaikannya”. Hal tersebut berjalan hingga periode khulafa’ Rasyidun. Mereka memberikan ultimatum pelarangan periwayatan hadits, disebabkan ketakutan akan terbukanya percampuran antara hadits-hadits yang palsu dengan hadits-hadits yang shahih. Akan tetapi periwayatan tersebut menyebar setelah periode khulafa Rasyidun dalam komunitas muslim. Mereka menyadari bahwa ketika bangunan peradaban Islam mulai ditancapkan, mereka membutuhkan tiang penyangga di samping al-Qur’an. Pada waktu itulah mulai tersebar kebohongan-kebohongan dalam periwayatan. Maka dibutuhkanlah perangkat kaedah-kaedah untuk mengkodifikasi sunnah shahih yang terbebas dari pemalsuan.

Kaum sufi, yang dalam tataran praktisnya tidak banyak bersentuhan dengan proses periwayatan tersebut, dalam literatur-literaturnya telah menggunakan metodologi periwayatan hadits yang justru rawan pemalsuan.
* Beberapa kaum sufi menyebutkan perawi hadits dan tidak menyebutkan siapa yang mengeluarkan hadits tersebut dan juga silsilahnya. Ini bisa dilihat pada hadits yang disebutkan al-Qasiriy dalam risalahnya. “Rasulullah saw bersabda kepada abu hurairah: jadilah kamu wara’ maka kamu akan menjadi hamba yang paling baik ibadahnya”.
* Pada kondisi yang lain, mereka menyebutkan ‘an’anah al-hadits dan tidak menyebutkan siapa yang mengeluarkannya, sementara mereka menyebutkan perawinya, seperti contoh: hadits yang disebutkan Imam Ghazali dalam Ihya’nya: diriwayatkan oleh Amru bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, bahwasanya ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: barang siapa berkata: laa ilaaha illallah wahdahu laa syarikalah lahu al-mulku wa lahu al-hamdu wa huwa ‘alaa kulli syai’in qadiir, sementara tak seorangpun yang mendahului sebelumnya dan tak seorangpun mengetahui setelahnya, kecuali ia telah berbuat dengan sebaik-baik perbuatan”.
* Menyebutkan hadits pada siyaq al-kalam seperti syahid (dalam periwayatan hadits) tanpa memberikan isyarat kepada hal tersebut. Ini sebagaimana yang telah dilakukan oleh Ibn Arabiy pada hadits yang berbunyi: sesungguhnya Allah telah menciptakan Adam dalam bentuknya”. Kemudian ia berkata kemudian: maka terwujudlah dalam ringkasan hadits tersebut yang mana ia adalah manusia sempurna, seluruh nama-nama ilahi.
* Mereka menyebutkan hadits dengan makna (bi al-ma’na). Hal ini bisa dilihat pada sebuah hadits yang disebutkan oleh Ibn Arabiy dalam futuhat: Rasulullah saw bersabda kepada Bilal: bimaa sabaqtaniy ilaa al-jannati famaa watha’tu minhaa maudzi’an illaa sami’tu khasykhasytaka amamiy”?. Bilal berkata: ya rasulallah! Maa ahdatstu qatthun illaa tawaddza’tu wa laa tawaddza’tu illaa shallaitu rak’ataini”.
* Mereka memberikan isyarat kepada sebuah hadits tanpa menyebutkannya. Ini bisa dilihat pula pada apa yang telah disebutkan Ibn Arabiy dalam futuhatnya. Ibn Arabiy berkata dalam buku tersebut bahwasanya dari beberapa hadits yang mutasyabihah, waktu turunnya Allah SWT ke sama’al-dunya pada setiap malam, hal tersebut tidak menafikan apa-apa yang telah kami sebutkan, tidak pula mewajibkan penetapan arah (jihah) atau pensifatan Allah dengan gerak (bahwa Allah bergerak) dan berpindah, dst…. Sebenarnya statemen Ibnu Arabiy tersebut terisyaratkan dari sebuah hadits : yanzilu rabbuna tabaaraka wa ta’aala kullu lailatin ilaa al-sama’i al-dunya dst….

3. Pembacaan Sufi Terhadap Sunnah

Tipologi ekspresi kaum sufi yang sangat subyektif dan terkesan privat telah banyak melahirkan sekte-sekte dalam tubuh kelompok tersebut. Begitu juga latar belakang pemikiran dan literatur rujukannya, sedikit banyak telah mempengaruhi warna dasarnya. Ibn Arabiy lebih terkenal sebagai seorang sufi panthaistik. Ia memiliki meanstream yang berbeda dengan tokoh-tokoh kontemporer disebabkan karena perbedaan kondisi dan lingkungan dimana ia tinggal. Begitu juga telah banyak mengadopsi pemikiran-pemikiran dari luar. Al-Hallaj, telah menggulirkan pemikiran baru dalam Islam secara umum dan dunia sufi secara khusus dengan al-hulul-nya disebakan meanstream lingkungannya yang penuh kejolak politik. Rabi’ah al-adawiyah dengan al-hubb-nya. Al-Ghazali dengan lebel sunni-nya, dan seterusnya. Akan tetapi dengan tipologi yang beraneka tersebut, komunitas ini tidak melepaskan diri dari proses pembacaan terhadap teks agama, khususnya Sunnah Nabi saw., walaupun dominasi realitisnya mereka lebih mengekspresikan hal-hal yang sifatnya praktis. Kalau ditinjau dari segi tersebut, kelompok ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu nadzariy (teoritis) dengan menggunakan perangkat logika dan filsafat dalam memahami teks sementara kelompok kedua adalah amaliy (praktis), lebih memusatkan pada praktik-praktik peribadatan formal.

Sunnah yang merupakan the second holy books of Islam, jelas mempunya arti yang sangat penting bagi kebanyakan pemahaman sufisme. Tak terhitung jumlah interpetasi yang dimaksudkan untuk mengungkapkan makna batin dari sabda Nabi tersebut. Banyak penjelasan yang memang sangat penting dan diperlukan, baik itu karena adanya simbolisme yang mendua pada bagian-bagian tertentu maupun karena adanya isyarat-isyarat yang menonjol dan penuh arti. Pada penafsiran ayat-ayat alqur’an, kita temukan betapa ekstensifnya kutipan-kutipan dari al-Qur’an digunakan dalam susunan pemikiran sufi. Yang unik, pandangan-pandangan baru dihasilkan dengan mensejajarkan ayat-ayat yang mengandung istilah yang sama. Beberapa contoh dapat diadopsi dari satu buku pedoman ajaran sufi awal, kitab cahaya, hasil karya Abu Nasr al-Sirraj (w. 988), ditulis pada abad ke-10 di Iran selama periode ketika sufisme mulai dikonsolidasikan sebagai suatu badan ajaran spiritual yang koheren. Buku ini memberikan sebuah gambaran yang komprehensif tentang, bagaimana jalan mistik bisa harmonis dengan semua aspek tentang hukum dan doktrin agama Islam. Dalam seleksi ini, Sirraj menegaskan interpretasi teks suci yang bertingkat-tingkat, yang berhungungan dengan tingkat pemahaman para pendengar yang berbeda. Gagasan tingkatan pengetahuan ini, serta kedekatan pada Tuhan merupakan suatu karakteristik yang fundamental dari ajaran-ajaran mistik sufi.

Banyak sekali pemahaman-pemahaman menggelitik yang sering muncul yang lebih bersifat isyariy. Bisa dilihat ketika mereka menterjemahkan hadits: Malaikat tidak akan masuk rumah yang di dalamnya ada gambar dan anjing, pada kata ‘anjing’ sebagian sufi menterjemahkan bahwa maksud kata tersebut adalah kedzoliman, kehinaan dan kemaksiatan. Sehingga persi mereka hadits tersebut memiliki maksud bahwa malaikat tidak akan masuk ke rumah seseorang yang di dalamnya masih bersemayam kemaksiatan dan kedzoliman. Kita juga bisa melihat ketika mereka menterjemahkan ayat yang berbunyi: laqad khoalqnaa al-insaana fii ahsani al-taqwiim, yang dimaksud adalah Muhammad saw. Pada sebuah hadits yang berbunyi: thalabu al-ilmiy faridzatun alaa kulli muslim, Sahruwardi berkata: ulama bersilang pendapat dalam ‘al-ilm’ yang diwajibkan, sebagian berkata bahwa itu merupakan ilmu al-ikhlash dan pengetahuan seputar hal-hal yang merusak jiwa dan perbuatan, karena ikhlas adalah diperintahkan sebagaimana juga perbuatan diperintahkan. Mereka bersandar pada ayat: (wamaa umiruu illaa liya’bidullaha mukhlisiin). Sementara yang lain berpendapat bahwa al-ilmu yang diwajibkan adalah pengetahuan pada hal-hal yang membahayakan dan perincian pengetahuan tersebut. Sementara pada tataran akhir, sahruwardi menanggapi bahwa ilmu yang dimaksud adalah jelas yaitu tafaqquh fi al-dien dan belajar ilmu-ilmu agama.

Namun pada sisi lain, kita juga masih menemukan seorang sufi yang masih memegang teguh pemahaman sunnah dan nilai-nilai konkritnya, seperti Ibn Atho’illah al-Iskandariy. Dr. Abu al-Wafa’ al-Taftazani memberikan komentar bahwa Ibn Atho’illah adalah seorang fakih karena telah banyak belajar di madrasah malikiyah yang dibangun oleh syaikh Abu al-Hasan al-Anbariy di Iskandaiyah. Dan ketika belajar di al-Azhar juga mempelajari ilmu-ilmu fikih, tafsir an hadits disamping belajar ilmu tasawuf. Patut disadari bahwa sebagian besar kaum sufi tidak memperhatikan kondisi sebuah hadits ketika dijadikan landasan dasar berfikirnya. Hal tersebut dapat dilihat komentar Dr. Muhammad Fuad Syakir: Dari hal-hal terpenting dalam penetapan kecintaan kaum sufi pada abad ke-7 terhadap hadits adalah selalu beristisyhad dengan hadits. Kalau kita mau menghitung apa-apa yang ada dalam buku futuhat makkiyahnya Ibn Arabi dari hadits-hadits, maka buku tersebut akan menjadi saksi bahwa para sufi pada waktu itu sangat bergantung pada hadits-haidts dan menghafalkannya, walaupun pada sisi yang lain banyak mengabaikan validitas hadits tersebut. Yang perlu diperhatikan adalah deskripsi pemahaman kaum sufi ini (sebagaimana komentar Dr. Muhammad Fuad Syakir) mengalami elaborasi makna yang terkandung, sehingga sulit dipahami. Karena mereka selalu menyesuaikannya dengan paradigma berfikir mistiknya yang berkisar pada masalah-masalah dzikir, hubb dan peribadatan formal. Sementara pada sisi yang lain ada pula yang menggunakan retorika bahasa yang lugas dan mudah dipahami, seperti Ibn Atho’illah dalam bukunya al-tanwir fii isqaath al-tadbiir.

4. Literatur

Dalam masalah literatur, sebenarnya banyak kita temukan bahwa kaum sufi ini masih merujuk pada literatur-literatur yang disepakati sebagai marajik utama dalam agama Islam, khususnya literatur hadits. Walaupun memang ada beberapa sufi yang melakukan tasahul dalam pengambilan dalil, sehingga layak kalau dikatakan bahwa salah satu sumber munculnya hadits maudlu’ juga dari mereka. Beberapa contoh bisa kita tampilkan disini sebagai bukti bahwa mereka masih berpegang teguh pada nash-nash yang disepakati.

Ibn Arabi dalam bukunya “al-washaya” telah mengutip hadits dari kitab muwattha’nya Imam Malik yang berbunyi: innamaa bu’itstu li utammima makaarima al-akhlaq. Pada hadits yang lain tentang keutamaan malam qadar, hadits yang diriwayatkan oleh Abu Said al-Khudriy bahwasanya Rasulullah saw. bersabda: raitu hadzihi al-lailata tsumma ansaituhaa, waqad raitaniy asjudu min shabiihatihaa fii maa’in wa thiin, faltamasuuhaa wa kulla witrin.

Pada literatur yang lain para sufipun mengutip hadits dari buku shahih Bukhari. Beberapa hadits penting yang dapat kita sebutkan adalah: hadits yang berbunyi: Allahu arhama bi’abdihi al-mu’min min hadzihi biwaladihaa. Pada hadits yang lain yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra. berkata : Rasulullah saw bersabda : inna lillahi malaaikatun yathuufuuna fii al-thuruqi yaltamisuuna ahla al-dzikri, faidzaa wajaduu qauman yadhkuruunallaha tunaaduu : halummuu ilaa haajatikum ! fayahfuuna biajnihatihim ilaa samaa’i al-dunyaa fayas’aluhum rabbuhum wa huwa a’lamu bihim….dst.

Disamping kedua kitab di atas (Muwattha’ Imam Malik dan Shahih Bukhari), para sufipun mengutip hadits-hadits yang dikeluarkan oleh Imam Muslim bin al-Hajjaj. Beberapa contoh adalah hadits yang berkenaan dengan perintah mensegerakan berbuka puasa. Hadits tersebut berbunyi: laa yazaalu al-naasu bikhairin maa ajjaluu al-fithra. Pada sebuah hadits yang berbicara dalam masalah keutamaan puasa Ibn Arabipun mengutip pula dari Shahih Muslim. Hadits tersebut berbunyi: Rasulullah saw. bersabda dalam hadits qudsi, Allah Swt berfirman: Kullu amal ibni Adama lahu illaa al-shaumu, fainnahu lii wa anaa ajzii bihi.

5. Penutup

Ada salah seorang sosiolog pernah mengatakan bahwa suatu saat masyarakat agamis akan meninggalkan agama. Namun, yang terjadi adalah sebaliknya, mereka malah memperdalam agama. Akhirnya tasawuf menjadi salah satu pilihan. Misalnya, pada awal 1970-an, Harvey Cox menulis The Secular City dan ia sangat yakin bahwa pada awal 1970-an, agama sebentar lagi akan ditinggalkan orang. Tapi, pada 1980-an, ia menulis revisi pada buku Religion in the Secular City. Dan, pada buku tersebut, ia mengemukakan bahwa ada kebangkitan agama dengan fenomena teologi pembebasan. Ekspresi lain yang sekarang ditulis banyak orang, misalnya, Fritjof Capra menulis Tao of Physic. Tapi, sebenarnya, itu satu fenomena yang menandai munculnya gerakan mistisisme. Trend spiritualitas (termasuk sufisme) itu tidak bisa tumbuh subur dalam dunia Islam kalau tidak berkaitan dengan Organized Religion, dalam hal ini adalah Islam. Kita bisa lihat macam-macam spiritualitas yang umum, seperti meditasi, yoga, dalam dunia Islam kurang subur. Akan tetapi sufisme bisa menjadi alternatif kebutuhan rohani sebagaimana meditasi dan Yoga tersebut. Islam terlalu kaya dengan khazanah spiritualnya, sehingga upaya-upaya dalam proses pembentukan peradaban yang berkesinambungan akan selalu dapat teraplikasikan. Apalagi apabila peradabatan tersebut dibangun di atas fondasi yang kuat yaitu al-Qu’an dan Hadits. Wisss...

baca selengkapnya..