Menuju Aktualisasi dan Pembaharuan Doktrin Islam

Monday, August 11, 2008




Sufisme; Analisa Pemahaman Mistik al-Sunnah
Asif Trisnani




Wahai.... Engkau yang melihatku sedang aku tidak melihatMu,
betapa sering aku lihat Dia, sedang Dia tidak melihat saya

(Wahai.…Engkau yang melihatku telah banyak berbuat dosa, sedangkan aku tidak melihatMu menyalahkan atas perbuatanku itu, betapa sering saya melihat Dia mencurahkan RahmatNya, sedangkan Dia tidak melihat saya berusaha mendapatkan Rahmat itu).
Ibn Arabi

1. Mengapa Sufisme?

Trend spiritual yang berkembang di dunia Islam, merupakan salah satu refleksi untuk menepis formalisme keberagamaan masyarakat kita pada era modern. Mengapa harus sufisme? Pertanyaan ini mungkin cukup relevan dilontarkan berkenaan dengan hegemoninya masyarakat tersebut. Berbagai macam aliran pemikiran ditawarkan. Sufisme—secara terminologis—merupakan istilah yang sudah muncul pada kurun awal perkembangan Islam yang lebih dominan beroperasi pada wilayah “sama’”, sementara kondisi tersebut telah banyak mendapatkan kritik dari para pemikir kontemporer, karena merupakan salah satu dari trend spiritual yang jauh dari jangkauan logika manusia dan sulit dipahami doktrin ajarannya. Bahkan kelompok rasionalisme materialis menganggap sebagai salah satu penyebab kemunduran peradaban Islam. Akhirnya perlu difikirkan bahwa sufisme harus banyak mengalami perubahan meanstream dan penerapannya guna mencapai sebuah perkembangan, disebabkan tuntutan zaman. Maka munculah neosufisme, faham yang secara etimologis memiliki arti “faham sufi baru”. Faham baru ini mencoba menghindarkan diri dari jebakan kesalihan simbolik. Pada sisi lain, faham sufi baru ini juga harus lebih terbuka "menerima" tafsir kebenaran, dari mana pun datangnya. Inilah yang menjadi potensi pengembangan kehidupan beragama yang lebih toleran dan inklusif.

Kalau kita tarik benang hijau (untuk mengganti istilah benang merah) Sebenarnya, sudah sejak zaman Rasulullah saw. sendiri telah terdapat kelompok para Sahabat Nabi yang lebih tertarik kepada hal-hal yang bersifat lebih batiniah itu. Misalnya, kelompok ahl al-Shuffah, yaitu sejumlah Sahabat yang memilih hidup sebagai faqir dan sangat setia kepada masjid. Tidak heran bahwa kelompok ini, dalam literatur kesufian, sering diacu sebagai teladan kehidupan saleh di kalangan para Sahabat. Walupun kesalehan tersebut lebih banyak diekspresikan dengan ''pengunduran diri'' dan sikap penuh kepasrahan kepada Sang Pencipta. Hal tersebut memang bisa mengesankan kepasifan dan eskapisme. Akan tetapi, sebagai dorongan hidup bermoral, pengalaman mistis kaum Sufi sebetulnya merupakan suatu kedahsyatan. Karena itulah ajaran Tasawuf juga disebut sebagai ajaran akhlak. Dan akhlak yang hendak mereka wujudkan ialah yang merupakan ''tiruan'' akhlak Tuhan, sesuai dengan sabda Nabi yang mereka pegang teguh, ''Berakhlaklah kamu semua dengan akhlak Allah.'' Sekali lagi, mengapa sufisme di era modern ini?. Nasr Hamid Abu Zaid pernah melontarkan persoalan yang serupa: limadza Ibn Arabi al-aan? Permasalahannya mungkin cukup sederhana, bahwa Ibn Arabi yang muncul pada abad ke-7 hijrah telah merubah paradigma berfikir kaum sufi pada waktu itu dengan perangkat-perangkat filsafat walaupun tidak meninggalkan kesan dogmatisnya. Ajaran pantheistiknya telah banyak membuka mata para pemikir Islam pada waktu itu di Sepanyol, sehingga iapun bisa digambarkan sebagai seorang filosof bertipe tidak beraturan, gayanya mendua (ambiguous) yang mungkin—kata prof. Browne—“dari tujuan yang sudah ditentukan”. Apakah masih cukup relevan kita mengadopsi pemikiran-pemikiran Ibn Arabi pada sebuah era yang telah mengalami kemajuan tekhnologi ini?. Pertanyaan inipun akan juga kita lontarkan pada sufisme secara khusus. Sebuah aliran—yang sudah terlanjur—dideklarasikan sebagai aliran eskapisme, sementara perlu disadari bahwa dominasi suatu aliran pada zaman sekarang adalah mana diantara aliran-aliran tersebut yang lebih dapat disentuh oleh masyarakat sosial. Di sinilah perlu mengadopsi pemikiran sufi baru (neosufisme). Kelompok ini jelas merupakan komunitas yang muncul pada saat hegemoni barat sangat dominan. Ajaran ini sengaja tidak terlalu menampakkan legal formal peribadatan spiritual, akan tetapi lebih memusatkan pada masalah sosial. Tauhid tidak hanya diartikan sebagai upaya legitimasi pengesaan terhadap Allah dengan ucapan dan ibadah formal. Perlu sebuah kesadaran mendalam akan tauhid sosial. Hal tersebut banyak diutarakan oleh Jalaluddin Rahmat dalam kumpulan makalah-makalahnya (lihat: Reformasi Sufistik). Disitu banyak sekali dikupas permasalahan-permasalahan ketimpangan sosial. Apakah seorang muslim yang taat beribadah (pergi haji dan umrah tiap tahun) sementara tetangga dekatnya hidup dalam kekurangan, bisa dikatakan benar tauhidnya?. Apakah seorang politikus dan pejabat masih mampu tetap bilang ‘Allah melihat’ pada situasi perpolitikan yang sangat kacau? neosufisme menawarkan ketika kita bersedekah, tidak hanya sekedar tangan kanan memberi sementara tangan kiri tidak tahu dan ikhlas, akan tetapi neosufisme menawarkan bahwa tangan kanan memberi sementara tangan kiri tahu dan tetap ikhlas. Neosufisme mencoba menawarkan agar seseorang tidak hanya sekedar menyendiri (uzlah) dalam beribadah untuk mendapatkan nilai kekhusu’an, akan tetapi dalam suasana yang hiruk-pikuk ia tetap khusu’. Dan masih banyak lagi tawaran-tawaran yang lain.

Pada kondisi yang lain, kita perlu menyadari bahwa kelompok ini serta merta bukanlah aliran eskapisme murni, sebab masih ada titik kepedulian untuk tetap berinteraksi dengan teks agama, khususnya sunnah, terutama dalam rangka memberikan kontribusi pada proses pemahamannya. Maka makalah ini akan berusaha membahas hal tersebut, untuk kemudian kita save dalam file alam pikir kita. Masih adakah relevansinya dengan alam kita sekarang? Masihkah kita memandang sebelah mata terhadap warisan khazanah Islam ini?

2. Sufi dan Periwayatan Hadits
a. A’lam Sufi

Abad ke-3 bisa dipandang sebagai abad pencerahan dalam proses kodifikasi hadits, di mana ketika ajaran-ajaran Muhammad saw. disampaikan dengan lesan secara berskala, telah banyak menimbulkan persepsi bahwa hadits akan kehilangan otentifikasi dan validitasnya. Hal tersebut cukup beralasan, sebab telah muncul berbagai aliran pemikiran—setelah wafatnya Muhammad saw—yang secara subyektif telah banyak menganulir muatan-muatan verbal ucapan-ucapan atau tingkah lakunya untuk kepentingan sesaat terutama dalam masalah politik dan sekte. Historitas Syi’ah dan Muktazilah secara jelas telah membuktikan hal tersebut. Ekspresi yang muncul dalam permukaan tak ubahnya seperti debu yang bertebaran di udara, tak jelas mana debu tanah, mana debu bedak seorang wanita atau mana debu kotoran keledai yang telah mengering. Semua nampak sama, tak ada bedanya satu sama lainnya. Maka kontribusi para ahli hadits pada abad ketiga ini benar-benar telah membuka mata umat Islam akan validitas dan orisinelnya ajaran Islam yang dibawa oleh Muhammad saw.

Pada situasi yang berbeda, dipinggiran desa, di gubuk-gubuk tua dan di pojok-pojok masjid, bersemayam kelompok yang menamakan dirinya sebagai kaum sufi. Kelompok ini secara struktural tidak memiliki garis penghubung secara jelas kepada pendahulunya karena subyektifitasnya yang dominan. Setiap pribadi seakan memiliki aliran pemikirannya dan statusnya yang sangat privat. Konsentrasi komunal pada masalah ibadah, dzikir dan fadzail al-a’mal, telah menyebabkan kelompok ini tidak memiliki potensi banyak untuk meriwayatkan hadits. Manshur bin ammar (w. 225 H.) yang terkenal sebagai ahli tasawuf dan akhlaq ini, disepakati hanya memiliki tiga periwayatan hadits yang terambil dari para pendahulunya seperti: Ma’ruf abi al-Khatab, Ibn al-Asqa’, Laits bin Saad, Abdullah bin Luhai’ah dan lain-lainnya. Dzahabi dan Abu Hatim memberi komentar bahwa Manshur bin Ammar banyak melakukan pencampuran hadits. Lebih keras lagi Ibn Adiy mengatakan bahwa dia adalah termasuk munkir al-sunnah. Basyar bin al-Harits al-Hafi (L. 150 H.) yang tekenal sebagai ahli zuhud inipun tidak banyak memberikan kontribusi dalam periwayatan hadits. Pada awalnya ia telah melakukan periwayatan yang mirip dilakukan oleh Ahmad bin Hambal dengan mengambil hadits dari waqi dan Isa bin Yunis serta lain-lainnya. Periwayatan yang dilakukannya, lebih memperhatikan pada ketsiqohan muhaddits dan hanya mengambil hadits yang memiliki ittisal al-sanad. Walaupun sufi ini pada akhirnya membenci periwayatan. Al-Harits al-Muhasibiy (w. 243 H.) yang terkenal dengan ahli tasawuf sunni inipun tidak lebih dari tiga hadits yang diriwayatkannya. Diantaranya adalah hadits yang dia ambil dari Yazid bin Harun yang berbunyi : “atsqalu maa yuudza’u fii al-miizaan husnu al-khuluq”. Abu al-Qosim al-Junaed (w. 297 H.) adalah salah seorang sufi yang mampu menggabungkan antara tasawuf dan Syari’ah. Dia tidak jauh berbeda dengan Basar bin Harits yang membenci periwayatan hadits. Selama hidupnya ia hanya meriwayatkan satu hadits saja yang diambil dari al-Hasan bin Urfah. Hadits tersebut berbunyi: ihdzaruu faraasata al-mu’min fainnahu yandzuru binuurillahi ta’ala. Wa qara’a: (inna fii dzaalika la aayatin li al-mutawassimiin)”. Kata “Farasah” (dalam hadits tersebut) diartikan sebagai sifat yang mesti bagi seorang arif. Setelah ditanya tentang maksud ‘arif’ ia mengatakan bahwa arif adalah orang yang berbicara tentang rahasia seserang sedang orang tersebut diam saja. Dan saya pikir kondisi para sufi pada abad dua atau abad ketiga tidak jauh berbeda dengan para sufi tersebut.

b. Metodologi Sufi dalam Periwayatan Hadits

Pada kurun awal, ketika secara langsung para sahabat mendengar hadits dari Rasulullah saw mereka sepakat akan “pentingnya menyampaikan” hadits tersebut dan “amanat menyampaikannya”. Hal tersebut berjalan hingga periode khulafa’ Rasyidun. Mereka memberikan ultimatum pelarangan periwayatan hadits, disebabkan ketakutan akan terbukanya percampuran antara hadits-hadits yang palsu dengan hadits-hadits yang shahih. Akan tetapi periwayatan tersebut menyebar setelah periode khulafa Rasyidun dalam komunitas muslim. Mereka menyadari bahwa ketika bangunan peradaban Islam mulai ditancapkan, mereka membutuhkan tiang penyangga di samping al-Qur’an. Pada waktu itulah mulai tersebar kebohongan-kebohongan dalam periwayatan. Maka dibutuhkanlah perangkat kaedah-kaedah untuk mengkodifikasi sunnah shahih yang terbebas dari pemalsuan.

Kaum sufi, yang dalam tataran praktisnya tidak banyak bersentuhan dengan proses periwayatan tersebut, dalam literatur-literaturnya telah menggunakan metodologi periwayatan hadits yang justru rawan pemalsuan.
* Beberapa kaum sufi menyebutkan perawi hadits dan tidak menyebutkan siapa yang mengeluarkan hadits tersebut dan juga silsilahnya. Ini bisa dilihat pada hadits yang disebutkan al-Qasiriy dalam risalahnya. “Rasulullah saw bersabda kepada abu hurairah: jadilah kamu wara’ maka kamu akan menjadi hamba yang paling baik ibadahnya”.
* Pada kondisi yang lain, mereka menyebutkan ‘an’anah al-hadits dan tidak menyebutkan siapa yang mengeluarkannya, sementara mereka menyebutkan perawinya, seperti contoh: hadits yang disebutkan Imam Ghazali dalam Ihya’nya: diriwayatkan oleh Amru bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, bahwasanya ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: barang siapa berkata: laa ilaaha illallah wahdahu laa syarikalah lahu al-mulku wa lahu al-hamdu wa huwa ‘alaa kulli syai’in qadiir, sementara tak seorangpun yang mendahului sebelumnya dan tak seorangpun mengetahui setelahnya, kecuali ia telah berbuat dengan sebaik-baik perbuatan”.
* Menyebutkan hadits pada siyaq al-kalam seperti syahid (dalam periwayatan hadits) tanpa memberikan isyarat kepada hal tersebut. Ini sebagaimana yang telah dilakukan oleh Ibn Arabiy pada hadits yang berbunyi: sesungguhnya Allah telah menciptakan Adam dalam bentuknya”. Kemudian ia berkata kemudian: maka terwujudlah dalam ringkasan hadits tersebut yang mana ia adalah manusia sempurna, seluruh nama-nama ilahi.
* Mereka menyebutkan hadits dengan makna (bi al-ma’na). Hal ini bisa dilihat pada sebuah hadits yang disebutkan oleh Ibn Arabiy dalam futuhat: Rasulullah saw bersabda kepada Bilal: bimaa sabaqtaniy ilaa al-jannati famaa watha’tu minhaa maudzi’an illaa sami’tu khasykhasytaka amamiy”?. Bilal berkata: ya rasulallah! Maa ahdatstu qatthun illaa tawaddza’tu wa laa tawaddza’tu illaa shallaitu rak’ataini”.
* Mereka memberikan isyarat kepada sebuah hadits tanpa menyebutkannya. Ini bisa dilihat pula pada apa yang telah disebutkan Ibn Arabiy dalam futuhatnya. Ibn Arabiy berkata dalam buku tersebut bahwasanya dari beberapa hadits yang mutasyabihah, waktu turunnya Allah SWT ke sama’al-dunya pada setiap malam, hal tersebut tidak menafikan apa-apa yang telah kami sebutkan, tidak pula mewajibkan penetapan arah (jihah) atau pensifatan Allah dengan gerak (bahwa Allah bergerak) dan berpindah, dst…. Sebenarnya statemen Ibnu Arabiy tersebut terisyaratkan dari sebuah hadits : yanzilu rabbuna tabaaraka wa ta’aala kullu lailatin ilaa al-sama’i al-dunya dst….

3. Pembacaan Sufi Terhadap Sunnah

Tipologi ekspresi kaum sufi yang sangat subyektif dan terkesan privat telah banyak melahirkan sekte-sekte dalam tubuh kelompok tersebut. Begitu juga latar belakang pemikiran dan literatur rujukannya, sedikit banyak telah mempengaruhi warna dasarnya. Ibn Arabiy lebih terkenal sebagai seorang sufi panthaistik. Ia memiliki meanstream yang berbeda dengan tokoh-tokoh kontemporer disebabkan karena perbedaan kondisi dan lingkungan dimana ia tinggal. Begitu juga telah banyak mengadopsi pemikiran-pemikiran dari luar. Al-Hallaj, telah menggulirkan pemikiran baru dalam Islam secara umum dan dunia sufi secara khusus dengan al-hulul-nya disebakan meanstream lingkungannya yang penuh kejolak politik. Rabi’ah al-adawiyah dengan al-hubb-nya. Al-Ghazali dengan lebel sunni-nya, dan seterusnya. Akan tetapi dengan tipologi yang beraneka tersebut, komunitas ini tidak melepaskan diri dari proses pembacaan terhadap teks agama, khususnya Sunnah Nabi saw., walaupun dominasi realitisnya mereka lebih mengekspresikan hal-hal yang sifatnya praktis. Kalau ditinjau dari segi tersebut, kelompok ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu nadzariy (teoritis) dengan menggunakan perangkat logika dan filsafat dalam memahami teks sementara kelompok kedua adalah amaliy (praktis), lebih memusatkan pada praktik-praktik peribadatan formal.

Sunnah yang merupakan the second holy books of Islam, jelas mempunya arti yang sangat penting bagi kebanyakan pemahaman sufisme. Tak terhitung jumlah interpetasi yang dimaksudkan untuk mengungkapkan makna batin dari sabda Nabi tersebut. Banyak penjelasan yang memang sangat penting dan diperlukan, baik itu karena adanya simbolisme yang mendua pada bagian-bagian tertentu maupun karena adanya isyarat-isyarat yang menonjol dan penuh arti. Pada penafsiran ayat-ayat alqur’an, kita temukan betapa ekstensifnya kutipan-kutipan dari al-Qur’an digunakan dalam susunan pemikiran sufi. Yang unik, pandangan-pandangan baru dihasilkan dengan mensejajarkan ayat-ayat yang mengandung istilah yang sama. Beberapa contoh dapat diadopsi dari satu buku pedoman ajaran sufi awal, kitab cahaya, hasil karya Abu Nasr al-Sirraj (w. 988), ditulis pada abad ke-10 di Iran selama periode ketika sufisme mulai dikonsolidasikan sebagai suatu badan ajaran spiritual yang koheren. Buku ini memberikan sebuah gambaran yang komprehensif tentang, bagaimana jalan mistik bisa harmonis dengan semua aspek tentang hukum dan doktrin agama Islam. Dalam seleksi ini, Sirraj menegaskan interpretasi teks suci yang bertingkat-tingkat, yang berhungungan dengan tingkat pemahaman para pendengar yang berbeda. Gagasan tingkatan pengetahuan ini, serta kedekatan pada Tuhan merupakan suatu karakteristik yang fundamental dari ajaran-ajaran mistik sufi.

Banyak sekali pemahaman-pemahaman menggelitik yang sering muncul yang lebih bersifat isyariy. Bisa dilihat ketika mereka menterjemahkan hadits: Malaikat tidak akan masuk rumah yang di dalamnya ada gambar dan anjing, pada kata ‘anjing’ sebagian sufi menterjemahkan bahwa maksud kata tersebut adalah kedzoliman, kehinaan dan kemaksiatan. Sehingga persi mereka hadits tersebut memiliki maksud bahwa malaikat tidak akan masuk ke rumah seseorang yang di dalamnya masih bersemayam kemaksiatan dan kedzoliman. Kita juga bisa melihat ketika mereka menterjemahkan ayat yang berbunyi: laqad khoalqnaa al-insaana fii ahsani al-taqwiim, yang dimaksud adalah Muhammad saw. Pada sebuah hadits yang berbunyi: thalabu al-ilmiy faridzatun alaa kulli muslim, Sahruwardi berkata: ulama bersilang pendapat dalam ‘al-ilm’ yang diwajibkan, sebagian berkata bahwa itu merupakan ilmu al-ikhlash dan pengetahuan seputar hal-hal yang merusak jiwa dan perbuatan, karena ikhlas adalah diperintahkan sebagaimana juga perbuatan diperintahkan. Mereka bersandar pada ayat: (wamaa umiruu illaa liya’bidullaha mukhlisiin). Sementara yang lain berpendapat bahwa al-ilmu yang diwajibkan adalah pengetahuan pada hal-hal yang membahayakan dan perincian pengetahuan tersebut. Sementara pada tataran akhir, sahruwardi menanggapi bahwa ilmu yang dimaksud adalah jelas yaitu tafaqquh fi al-dien dan belajar ilmu-ilmu agama.

Namun pada sisi lain, kita juga masih menemukan seorang sufi yang masih memegang teguh pemahaman sunnah dan nilai-nilai konkritnya, seperti Ibn Atho’illah al-Iskandariy. Dr. Abu al-Wafa’ al-Taftazani memberikan komentar bahwa Ibn Atho’illah adalah seorang fakih karena telah banyak belajar di madrasah malikiyah yang dibangun oleh syaikh Abu al-Hasan al-Anbariy di Iskandaiyah. Dan ketika belajar di al-Azhar juga mempelajari ilmu-ilmu fikih, tafsir an hadits disamping belajar ilmu tasawuf. Patut disadari bahwa sebagian besar kaum sufi tidak memperhatikan kondisi sebuah hadits ketika dijadikan landasan dasar berfikirnya. Hal tersebut dapat dilihat komentar Dr. Muhammad Fuad Syakir: Dari hal-hal terpenting dalam penetapan kecintaan kaum sufi pada abad ke-7 terhadap hadits adalah selalu beristisyhad dengan hadits. Kalau kita mau menghitung apa-apa yang ada dalam buku futuhat makkiyahnya Ibn Arabi dari hadits-hadits, maka buku tersebut akan menjadi saksi bahwa para sufi pada waktu itu sangat bergantung pada hadits-haidts dan menghafalkannya, walaupun pada sisi yang lain banyak mengabaikan validitas hadits tersebut. Yang perlu diperhatikan adalah deskripsi pemahaman kaum sufi ini (sebagaimana komentar Dr. Muhammad Fuad Syakir) mengalami elaborasi makna yang terkandung, sehingga sulit dipahami. Karena mereka selalu menyesuaikannya dengan paradigma berfikir mistiknya yang berkisar pada masalah-masalah dzikir, hubb dan peribadatan formal. Sementara pada sisi yang lain ada pula yang menggunakan retorika bahasa yang lugas dan mudah dipahami, seperti Ibn Atho’illah dalam bukunya al-tanwir fii isqaath al-tadbiir.

4. Literatur

Dalam masalah literatur, sebenarnya banyak kita temukan bahwa kaum sufi ini masih merujuk pada literatur-literatur yang disepakati sebagai marajik utama dalam agama Islam, khususnya literatur hadits. Walaupun memang ada beberapa sufi yang melakukan tasahul dalam pengambilan dalil, sehingga layak kalau dikatakan bahwa salah satu sumber munculnya hadits maudlu’ juga dari mereka. Beberapa contoh bisa kita tampilkan disini sebagai bukti bahwa mereka masih berpegang teguh pada nash-nash yang disepakati.

Ibn Arabi dalam bukunya “al-washaya” telah mengutip hadits dari kitab muwattha’nya Imam Malik yang berbunyi: innamaa bu’itstu li utammima makaarima al-akhlaq. Pada hadits yang lain tentang keutamaan malam qadar, hadits yang diriwayatkan oleh Abu Said al-Khudriy bahwasanya Rasulullah saw. bersabda: raitu hadzihi al-lailata tsumma ansaituhaa, waqad raitaniy asjudu min shabiihatihaa fii maa’in wa thiin, faltamasuuhaa wa kulla witrin.

Pada literatur yang lain para sufipun mengutip hadits dari buku shahih Bukhari. Beberapa hadits penting yang dapat kita sebutkan adalah: hadits yang berbunyi: Allahu arhama bi’abdihi al-mu’min min hadzihi biwaladihaa. Pada hadits yang lain yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra. berkata : Rasulullah saw bersabda : inna lillahi malaaikatun yathuufuuna fii al-thuruqi yaltamisuuna ahla al-dzikri, faidzaa wajaduu qauman yadhkuruunallaha tunaaduu : halummuu ilaa haajatikum ! fayahfuuna biajnihatihim ilaa samaa’i al-dunyaa fayas’aluhum rabbuhum wa huwa a’lamu bihim….dst.

Disamping kedua kitab di atas (Muwattha’ Imam Malik dan Shahih Bukhari), para sufipun mengutip hadits-hadits yang dikeluarkan oleh Imam Muslim bin al-Hajjaj. Beberapa contoh adalah hadits yang berkenaan dengan perintah mensegerakan berbuka puasa. Hadits tersebut berbunyi: laa yazaalu al-naasu bikhairin maa ajjaluu al-fithra. Pada sebuah hadits yang berbicara dalam masalah keutamaan puasa Ibn Arabipun mengutip pula dari Shahih Muslim. Hadits tersebut berbunyi: Rasulullah saw. bersabda dalam hadits qudsi, Allah Swt berfirman: Kullu amal ibni Adama lahu illaa al-shaumu, fainnahu lii wa anaa ajzii bihi.

5. Penutup

Ada salah seorang sosiolog pernah mengatakan bahwa suatu saat masyarakat agamis akan meninggalkan agama. Namun, yang terjadi adalah sebaliknya, mereka malah memperdalam agama. Akhirnya tasawuf menjadi salah satu pilihan. Misalnya, pada awal 1970-an, Harvey Cox menulis The Secular City dan ia sangat yakin bahwa pada awal 1970-an, agama sebentar lagi akan ditinggalkan orang. Tapi, pada 1980-an, ia menulis revisi pada buku Religion in the Secular City. Dan, pada buku tersebut, ia mengemukakan bahwa ada kebangkitan agama dengan fenomena teologi pembebasan. Ekspresi lain yang sekarang ditulis banyak orang, misalnya, Fritjof Capra menulis Tao of Physic. Tapi, sebenarnya, itu satu fenomena yang menandai munculnya gerakan mistisisme. Trend spiritualitas (termasuk sufisme) itu tidak bisa tumbuh subur dalam dunia Islam kalau tidak berkaitan dengan Organized Religion, dalam hal ini adalah Islam. Kita bisa lihat macam-macam spiritualitas yang umum, seperti meditasi, yoga, dalam dunia Islam kurang subur. Akan tetapi sufisme bisa menjadi alternatif kebutuhan rohani sebagaimana meditasi dan Yoga tersebut. Islam terlalu kaya dengan khazanah spiritualnya, sehingga upaya-upaya dalam proses pembentukan peradaban yang berkesinambungan akan selalu dapat teraplikasikan. Apalagi apabila peradabatan tersebut dibangun di atas fondasi yang kuat yaitu al-Qu’an dan Hadits. Wisss...

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home