Menuju Aktualisasi dan Pembaharuan Doktrin Islam

Monday, August 11, 2008


SUNNAH DAN TANTANGAN MODERNITAS
Oleh Asif Trisnani

Muqaddimah
Sunnah sebagai landasan dasar kedua setelah Alquran, secara historis tidak terlepas dari polemik yang meliputinya, baik proses otentifikasi statusnya —dalam hal ini adalah peletakan metodologi kodifikasi Hadits— maupun kajian kritis materi-materinya (kritik matan Hadits), yang diprakarsai oleh kalangan ortodoks (salafi) maupun kalangan modernis. Kalangan ortodoks lebih menekankan pada sisi kristalisasi Sunnah dari intervensi luar dengan menggunakan metodologi tertentu yang dikenal dengan sebutan Ilm Musthalāh al-Hadîts. Sementara kelompok modernis lebih menekankan pada proses kontekstualisasi Sunnah (melalui historisitasnya) yang diharapkan mampu menjelma menjadi sebuah tradisi baru dalam kancah peradaban Islam, proses ini dalam istilah fikih dapat dijadikan sebagai pembuka pintu ijtihad. Karena kita menyadari bahwa sebuah peradaban yang berjalan di sebuah masyarakat tidak akan terlepas dari sumber awal dimana peradaban itu muncul atau berkembang, proses yang begitu panjang telah mengakibatkan banyak perubahan pada sisi-sisi tertentu, baik perubahan yang bersifat substansial maupun deskripsi-deskripsi luarnya (formal). Pada perkembangan akhir-akhir ini muncul berbagai upaya dari beberapa kelompok untuk mengintroduksikan artikel-artikel yang berisi dekonstruksi atas metode tafsir yang telah mapan dalam sejarah ilmu tafsir. Metode tafsir para Ulama Salaf (Ahl al-Sunnah) yang melibatkan penafsiran dengan bersandar pada Sunnah Nabi Saw. dianggap klasik, tradisional dan tidak kontemporer, sehingga banyak pesan ayat Alquran terpasung oleh penafsiran tekstual. Sementara konteks peradaban menuntut adanya berbagai penyesuaian signifikan. Namun, kajian-kajian tersebut belum menguraikan metodologinya secara komprehensif, sehingga apa yang mereka upayakan hanya sekedar menguraikan belenggu yang mengikat akal manusia saja, belum ada sebuah jalan keluar yang mengiringi pemikiran tersebut. Kita masih perlu menyadari bahwa proses rasionalisasi tidak hanya melepaskan akal dari belenggunya, akan tetapi akal memiliki obyeknya sendiri yang harus dinampakkan. Misalnya, ketika akal tidak mampu menjangkau untuk memikirkan dzât Ilâhi, hal tersebut tidak lantas harus melepaskan diri dari agama agar bebas berpikir tentang Tuhan, akan tetapi memunculkan sebuah kesadaran akan terbatasnya akal. Teori tentang hermeneutika penafsiran —umpamanya— harus memperhatikan batas-batas mana yang bersifat qoth‘ al-dilâlah dan mana yang dzonni, sehingga dengan sebijaksana mungkin akal dapat memahami pesan Ilahi yang tertuang dalam teks.
Hal tersebut tidak jauh berbeda dengan teks kedua agama Islam yaitu Sunnah Nabi Saw, apa yang menjadi sejarah perjalanan Nabi hanya sekedar uraian tradisi biasa seorang manusia yang diberi keunggulan dalam akal. Jean Jacques Rousseau mengatakan bahwa Sunnah merupakan sebuah produk kejeniusan dan kemampuan akal Muhammad, yang diberi kelebihan-kelebihan dari manusia yang lainnya, inilah yang mengilhami saya untuk menulis sebuah catatan kecil ini sebagai usaha pengenalan secara integral terhadap pola dasar dan gaya hidup Nabi Saw. yang —semoga mampu— memberikan sedikit kontribusi pemikiran terhadap kedua teks tersebut. Kita masih perlu untuk mendalami Islam itu sendiri sebelum mengatakan bahwa pada tataran riil agama telah membawa manusia pada kehidupan konservatif, stagnan, terlebih lagi mereka yang selalu perpegang teguh kepada teks agama dianggap hidup dalam pilar-pilar tradisional. Mereka yang membebaskan akal dari pengaruh-pengaruh agama dianggap modernis. Sehingga disinilah timbul sebuah kerancuan antara tradisionalis dan modernis. Padahal mereka yang menganut paham rasioanalisme secara historis merujuk pada masa yang lebih awal dari kemunculan Islam yaitu masa Yunani. Proses introduksi tradisi Nabi itu sendiri sebenarnya adalah sebuah upaya menuju pada pengenalan munculnya peradaban Islam. Akar peradaban Islam adalah teks Alquran dan Hadits, serta beberapa literatur sejarah yang mengiringnya..
Namun perlu disadari bahwa ketika dunia mulai terbuka, dan ketika Islam hadir lagi diatas pentas percaturan internasional, munculah istilah ‘kultus martir’ yang hidup dalam bentuk lain. Martir kini bukan lagi orang-orang kristen yang masuk ke masjid dan mencaci-maki Nabi Saw, tetapi orang-orang Islam sendiri yang melakukan pekerjaan mereka, Nageeb Mahfud, Salman Rusydi. Bahkan ada yang menyarankan jika anda ingin dihargai sebagai intelektual katakanlah sedikit tentang keburukan umat Islam, lebih bagus lagi kalau anda berhasil menunjukan betapa ‘terbelakangnya’ ajaran Islam. Bagaimana jika ada orang Barat yang menampilkan Islam dengan apa adanya? Conor Crusie O’brien menulis: “Seorang Barat yang menyatakan kagum pada masyarakat Islam sambil perpegang pada nilai-nilai Barat bisa jadi hipokrit atau ‘jâhil’ atau kedua duanya”. Kini kultus tersebut diungkapkan dengan pembelaan matian-matian para penghina Islam yang lahir dari lingkungan kebudayaan Islam dan menyerang matian-matian para pembela Islam yang lahir dari lingkungan peradaban Barat. Tulisan ini berusaha memunculkan deskripsi internal Islam yang mengacu pada literatur-literaturnya. Boleh jadi kesalahpahaman (misunderstanding) interpretasi Barat terhadap Islam muncul akibat kurangnya proporsi dalam sebuah perspektif. Atau dengan kata lain masih berhenti pada tataran religiusitas (ekspresi keagamaan), sementara hal-hal yang berhubungan dengan religiusitas masih sangat subyektif. Salah satu acuan dalam menemukan peta keislaman adalah dengan melihat literaturnya dan diantaranya adalah: Sunnah Saw.

Urgensi Wahyu dan Akal dalam Sunnah
Dialektika perilaku Nabi Saw, selama hidupnya terus-menerus menjadi perhatian para sahabat. Dimensi wahyu selalu melekat pada dirinya, sementara pada sisi lain, ia diberi kelengkapan dengan akal yang matang untuk digunakan dalam penyebaran agama Islam. Para sahabat Nabi Saw.—dengan kadar yang berbeda— berusaha membentuk tingkah lakunya sesuai dengan tingkah laku Nabi Saw. Beliau berulangkali menyuruh shahâbat menirunya. Dalam hal shalat misalnya, Nabi saw. bersabda, "Shalatlah kalian seperti kalian melihat aku shalat." Dalam hal haji, beliau juga bersabda "Ambillah dari aku manasik kalian." Sesekali Nabi saw. menegaskan, perilakunya itu sunnah yang harus diikuti, "Nikah itu sunnahku. Siapa yang berpaling dari sunnahku ia tidak termasuk golonganku." Gaya hidup, tingkah laku, ucapan yang sedemikian rupa apakah muncul dengan kekuatan imajinasinya sendiri, ataukah datang dengan pelantaraan informasi wahyu? Disinilah pokok pembahasannya, Muhammad adalah Rasul sekaligus manusia biasa, ketika dominasi kerasulan muncul, maka taklîf (pembebanan) ketaatan harus dijalankan, karena sumbernya adalah wahyu (dalam hal ini adalah penyampaian risâlah kenabian ) sementara ketika beliau berada di luar wahyu, maka yang berbicara adalah akal sehatnya (ijtihad Nabi Saw), dimana hal tersebut memiliki potensi benar dan salah.
Tidak bisa dielakkan bahwa Rasul melakukan ijtihad pada permasalahan-pemasalahan duniawi. Bahkan Rasulpun pernah melontarkan statemen kepada para al-shahâbah bahwa "kamu lebih tahu tentang masalah-masalah dunia", artinya shahâbah-pun mendapatkan legitimasi untuk melakukan ijtihad dalam permasalahan dunia, apalagi Rasul yang sudah dilengkapi oleh Allah dengan beberapa variabel pelengkap, diantaranya: keluasan ilmu, kekuatan pemahaman, kesatuan kecerdasan dan ismah (penjagaan). Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa Nabi yang al-ma'sûm (infallible) hanyalah berkenaan dengan tugasnya menyampaikan wahyu dari Tuhan saja, sebagai manusia biasa pernah melakukan kesalahan, hanya saja menurutnya, seorang Nabi bila ternyata melakuan kesalahan akan segera melakukan tobat. Atau disini boleh ditafsirkan bahwa tidak menutup kemungkinan bahwa Rasul melakukan kesalahan dalam ijtihadnya namun dengan serta merta Allah menegurnya dan kemudian membenahi kesalahan tersebut. Pada salah satu Hadits disebutkan: Bahwa pada suatu hari Rasulullah Saw. berlalu di muka kebun seorang Ansar di pinggiran kota Madinah, lalu beliau menganjurkan kepada orang Ansar tersebut (pemilik kebun ), untuk mempergunakan suatu sistem tertentu mengenai pengawinan pohon kurma, namun Rasulullah mendapati orang Ansar itu, setelah beberapa waktu kemudian, telah meninggalkan sistem pengawinan kurma yang dianjurkan oleh beliau, karena sistem yang dianjurkan itu tidak memenuhi hasil yang maksimal, sebagaimana yang diharapkan oleh orang Ansar tersebut. Nabi Muhammad Saw membenarkan apa yang dilakukan oleh orang Ansar itu, dengan menyatakan dengan segera bahwa eksperimen yang dilakukan sendiri itu harus didahulukan dari pikiran individu sekalipun yang mempunyai pikiran itu Nabi Sendiri
Sementara kalau kita kembali pada interpretasi sunnah yang mencakup perkataan, perbuatan, keputusan.dan sifat-sifat Nabi Saw., maka sebenarnya ada peluang besar bagi umat Islam untuk melakukan ijtihad, hal tersebut dapat dibuktikan ketika Amru bin Ash melakukan tayammum dalam kondisi sakit, Rasulpun tidak melarangnya, ini berarti bahwa apapun yang dilakukan shahâbat asal tidak menyimpang dari teks dan mendapatkan kesepakatan dari Nabi Saw., maka dapat dikatakan sebagai sunnah Nabi. Ini berarti bahwa dalam dunia sekarang peluang ijtihad amat besar, terhadap masalah-masalah yang secara eksplisit agama belum menyebutnya. Gaya tradisi yang semacam ini (sunnah taqrîriyah) merupakan peluang umat untuk melakukan ijtihad asalkan masih berada pada koredor teks agama.

Otentifikasi Sunnah
Sebuah kesadaran spiritual akan selalu mengajak kepada jalan kebenaran, sementara dokumen agama yang dapat dijadikan rujukan adalah Alquran, dan apabila kita secara eksplisit tidak menemukannya, maka kita mencarinya di Sunnah Nabi Saw. atau apabila kita menghadapi masalah-masalah baru yang timbul dalam perkembangan Islam, maka yang menjadi acuan kita adalah Sunnah. Hal tersebut selaras dengan pendapat Fazlur Rahman yang mengatakan, bahwa untuk membuka pintu ijtihad, kita harus mulai dari peninjauan ulang terhadap kedua teks yang dimiliki oleh Islam. Beberapa orang orientalis berpendapat, sunnah adalah merupakan praktek atau tradisi kaum muslim pada zaman awal. Sebagian kandungan sunnah berasal dari kebiasaan Jâhiliyah (pra-Islam) yang dilestarikan dalam Islam. Sebagian lagi hanyalah interpretasi para ahli hukum Islam terhadap sunnah yang ada, ditambah unsur-unsur yang berasal dari kebudayaan Yahudi, Nasrani (tradisi Ibrahimiyah), Romawi, dan Persia.
Ketika gerakan Hadits muncul pada Abad 3 Hijrah, seluruh sunnah dinisbahkan kepada Nabi Saw., dan disebut "Sunnah Nabi". Fazlur Rahman mengkoreksi pandangan orientalis ini dengan menegaskan beberapa point: pertama, bahwa kisah perkembangan Sunnah di atas hanya benar sehubungan dengan kandungannya, tapi tidak benar sehubungan dengan konsepnya yang menyatakan sunnah Nabi tetap merupakan konsep yang memiliki validitas dan operatif, sejak awal sejarah Islam hingga masa kini. Kedua, kandungan sunnah yang bersumber dari Nabi tidak banyak jumlahnya dan tidak dimaksudkan bersifat spesifik secara mutlak. Ketiga, konsep sunnah sesudah Nabi wafat tidak hanya mencakup sunnah Nabi, tapi juga penafsiran-penafsiran terhadap sunnah Nabi tersebut. Keempat, sunnah dalam pengertian terakhir ini, sama luasnya dengan ijma’' (konsensus ulama’) yang pada dasarnya merupakan sebuah proses yang semakin meluas secara terus-menerus. Kelima, setelah gerakan pemurnian Hadits yang besar-besaran, hubungan organis di antara sunnah, ijtihad, dan ijma' menjadi rusak.
Jadi, para shahâbat pada periode awal Islam selalu memperhatikan perilaku Nabi Saw.. sebagai teladan. Mereka berusaha mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari. Setelah Nabi Saw. wafat, berkembanglah penafsiran individual terhadap teladan Nabi itu. Boleh jadi sebagian sahabat memandang perilaku tertentu sebagai sunnah, tapi sahabat yang lain, tidak menganggapnya sunnah. Dalam "free market of ideas," pada daerah tertentu seperti Madinah, Kuffah, berkembang sunnah yang umumnya disepakati para ulama di daerah tersebut. Ada sunnah Madinah, ada sunnah Kuffah. Secara berangsur-angsur, pada daerah kekuasaan kaum muslim, berkembang secara demokratis sunnah yang disepakati (amr al-mujtama' 'alaih). Karena itu, sunnah tidak lain daripada opni pablik. Ketika timbul gerakan Hadits pada paruh kedua Abad ke-2 Hijrah, sunnah yang sudah disepakati kebanyakan orang ini, diekspresikan dalam Hadits. Hadits adalah verbalisasi sunnah. Sayangnya, menurut Fazlur Rahman, formalisasi sunnah ke dalam Hadits ini, telah memasung proses kreatif sunnah dan menjerat para ulama Islam pada rumus-rumus yang kaku. Walaupun landasannya yang utama adalah teladan Nabi, Hadits merupakan hasil karya dari generasi-generasi muslim. Hadits adalah keseluruhan aphorisme yang diformulasikan dan dikemukakan seolah-olah dari Nabi oleh kaum muslimin sendiri dengan cara ortografi pararel; walaupun secara historis tidak terlepas dari Nabi. Sifatnya yang aphoristik menunjukkan bahwa Hadits tersebut tidak bersifat historis (a-historis). Secara lebih tepat Hadits adalah komentar yang monumental mengenai Nabi oleh umat muslim di masa lampau. Walhasil, setelah kaum muslim awal secara berangsur-angsur sepakat menerima sunnah, mereka menisbatkan sunnah itu kepada Nabi Saw. Kemudian, mereka merumuskan sunnah itu dalam bentuk verbal. Inilah yang disebut Hadits. Bila sunnah adalah proses kreatif yang terus menerus, Hadits adalah pembakuan yang kaku. Ketika gerakan Hadits unggul, ijma' (yang merupakan opini publik) dan ijtihad (yang merupakan proses interpretasi umat terhadap ajaran Islam) menjadi tersisihkan. Sehingga menurutnya, Hadits yang merupakan bentuk verbal dari Sunnah itu bersifat kaku dan tidak ada unsur dialektika yang tertuang dalam Hadits. Hal tersebut benar apabila kita sebagai umat Islam hanya melihat pada sebuah teks yang kita anggap sebagai hukum positif, sementara teks selalu beriring dengan sejarah, asbâb al-nuzûl, al-nâsikh wa al-mansûkh maupun interpretasi-interpretasi rasional. Kita akan mengatakan bahwa kisah tentang sikap Umar bin Khathab untuk tidak memotong tangan pencuri pada kondisi terdesak itu adalah bijaksana walaupun secara literal bertentangan dengan tradisi Nabi.
Tidak heran jika dalam proses verbalisasi tersebut melahirkan sebuah intervensi ra'yu (pendapat) yang disinyalir oleh kelompok modernis sebagai proses kreatifitas, sementara yang lain menganggapnya sebagai bias-bias melemahnya otentisitas. Dominasi ra'yu abad ke-3 H. sangat ditopang oleh hilangnya catatan-catatan tertulis. Untuk memperparah keadaan, tidak adanya rujukan tertulis menyebabkan banyak orang secara bebas membuat Hadits untuk kepentingan politis, ekonomi, atau sosiologis. Abu Rayyah menulis, "Ketika hadits-hadits Nabi Saw. tidak dituliskan dan para sahabat tidak berupaya mengumpulkannya, pintu periwayatan hadits palsu terbuka baik untuk orang taat maupun orang sesat, yang meriwayatkan apa saja yang mereka inginkan tanpa takut kepada siapapun." Pendeknya, hilangnya catatan-catatan Hadits telah menimbulkan dominasi ra'yu, yang kemudian disebut sunnah. Sehingga pada periode Umar bin Abdul Aziz pencatatan Hadits dapat dirintis dan puncak kesempurnaanya adalah pada abad ke-3 H. yang dipelopori oleh Bukhari dan Muslim.
Panjangnya rangkaian periwayatan hadits telah memungkinkan orang-orang untuk menambahkan kesimpulan dan pendapatnya pada hadits-hadits. Tidak mengherankan, bila Fazlur Rahman sampai kepada kesimpulan, Hadits adalah produk pemikiran kaum muslim awal untuk memformulasikan sunnah. Sunnah pada gilirannya kelihatan sebagai produk para ahli hukum Islam, yang kemudian dinisbahkan kepada Nabi Saw. Inilah yang disebut dengan Hadits palsu (al-hadîts al-maudlu’i), namun dengan proses otentifikasi yang tajam dengan al-qâ’idah musthalâhiyah (kaedah terminologis) kumpulan catatan-catatan Hadits dapat diklasifikasikan sesuai dengan kadar kekuatannya pada abad ke-3 H. tersebut dengan seleksi yang ketat. Dengan resiko menafikan beberapa Hadits yang tidak sesuai dengan kategori shahîh walaupun boleh jadi hal tersebut benar-benar dari Nabi Saw.
Studi kritis Barat terhadap evolusi Hadits yang menghasilkan skeptisisme total para sarjana Barat terhadap Hadits, pertama kali dilakukan oleh Ignaz Goldziher (Muhammad Anische Studien vol. 2, hale 1890), dan belakangan dipertegas oleh Joseph Schacht (The Origins of Muhammadan Jurisprudence, Oxford, 1952). Tetapi jauh sebelum para sarjana Barat mengotak-atik Hadits, Sir Sayyid Ahmad Khan, berdasarkan kajian historisnya, telah mengungkapkan skeptisismenya terhadap keaslian Hadits, sekalipun terhadap himpunan-himpunan Hadits Shahih.

Modernitas dan Tantangannya
Secara etimologis pengertian modernitas berasal dari kata "modern" dan makna umum dari kata modern adalah segala sesuatu yang bersangkutan dengan kehidupan masa kini. Lawan dari modern adalah kuno, yaitu segala sesuatu yang bersangkutan dengan masa lampau. Jadi modernitas adalah pandangan yang dianut untuk menghadapi masa kini. Selain merupakan sebuah pandangan, modernitas juga merupakan sikap hidup. Yaitu sikap hidup yang dianut dalam menghadapi kehidupan masa kini. Kalau kita berbicara tentang masa kini, maka yang dimaksudkan adalah waktu sekarang dan masa depan. Pengertian modernitas, yaitu pandangan dan sikap hidup yang bersangkutan dengan kehidupan masa kini yang banyak dipengaruhi oleh peradaban modern. Sedangkan yang dimaksudkan dengan peradaban modern adalah peradaban yang terbentuk mula-mula di Eropa Barat, kemudian menyebar di seluruh dunia Barat (West). Dengan begitu dapat pula dinamakan peradaban Barat.
Peradaban Barat mempunyai dampak besar terhadap modernitas, oleh karena peradaban Barat pada masa kini merupakan peradaban yang dominan di sana. Sebagaimana dalam periode antara abad 6—16 M, peradaban Islam mempunyai pengaruh yang besar dalam kehidupan umat manusia di sekitar Laut Tengah, dan kemudian meninggalkan dampaknya kepada pembentukkan peradaban Barat, demikian pula di masa kini, seluruh kehidupan umat manusia tidak dapat lepas dari pengaruh peradaban Barat yang secara agresif dan dinamis memasuki seluruh pelosok dunia. Sebab itu, untuk mengenal dan mengembangkan modernitas tidak mungkin tanpa mengenal unsur-unsur utama peradaban Barat.
Yang dimaksudkan peradaban modern adalah peradaban Barat yang terbentuk setelah bangsa-bangsa Eropa melampaui masa Abad Pertengahan. Term "modern" di sini adalah "Eurocentrism" atau "Barat sentris" karena sepenuhnya bersangkutan dengan kehidupan bangsa-bangsa di Eropa terutama di Eropa Barat. Bangsa Eropa membagi sejarahnya dalam tiga periode: pertama, Zaman Klasik, yang berlangsung awal abad 1—5 H. Kedua, periode Abad Pertengahan, antara abad ke-5—16 M. Ketiga, adalah Zaman Modern, dari abad 16—masa kini. Peradaban modern adalah peradaban Barat yang terbentuk pada Zaman Modern. Oleh karena itu, sejak abad ke-16 M., dunia Barat berhasil melebarkan sayapnya ke seluruh dunia, dan pada abad ke-20 berada pada titik puncak kemampuannya. Seba itu, pengaruh atau dampak peradaban modern itu terasa dimana-mana, baik dalam arti positif maupun negatif. Peradaban modern itu terbentuk pada abad ke-16 melalui satu perubahan yang penting di Eropa Barat yang dinamakan Renaissance yang berarti kelahiran kembali. Yaitu kelahiran kembali hasil-hasil budaya Yunani dan Romawi. Dalam Abad Pertengahan, hasil budaya Yunani dan Romawi telah diabaikan di Eropa. Gerakan yang bernama ‘Humanisme’ kemudian diungkapkan kembali pemikiran yang telah dikembangkan di Yunani Lama, seperti pemikiran Aristoteles, Plato, dan lain-lain. Pengungkapan kembali pikiran Yunani dan Romawi itu dimungkinkan oleh persentuhan Eropa Barat dengan budaya Islam yang dalam Abad Pertengahan justru sedang berkembang dengan megah dan memasuki Eropa Barat melalui Spanyol. Humanisme dan Renaissanse itulah yang menjadi sumber utama terbentuknya peradaban Barat modern.
Persentuhannya dengan peradaban Islam, pengungkapan kembali konsep-konsep modernitas —humanisasi, renaisance, rasionalisasi, adopsi pikiran Yunani dan Romawi— pasti menimbulkan dampak pada dunia Islam terutama pada paradigma berfikir masyarakatnya. Hal ini melahirkan —dalam dunia Islam— apa yang disebut dengan ‘modernisasi peradaban Islam’. Jargon-jargon ini selalu diusung oleh kaum modernis Islam sebagai upaya menuju peradaban Islam yang maju (menurut versi Barat). Maka, ketika modernisasi tersebut digulirkan maka timbul berbagai ekspresi religiusitas yang beragam. Muncullah teori hermeneutika penafsiran teks, liberalisasi, historiologi dan lain-lain. Sementara di sisi lain, kaum ortodoks cenderung mempertahankan tradisi Islam klasik yang berpegang teguh pada teks, baik Alquran maupun Hadits. Kaum Islâmiyûn berusaha mengekspresikan kata modern dalam dunianya, terlepas dari ikatan-ikatan moral yang diusung Barat. Mereka meyakini bahwa era modern yang lahir di Barat muncul setelah mereka mampu mengadopsi khazanah ilmu-ilmu Islam. Maka terbagilah, dalam kubu tradisionalis, menjadi dua kelompok: pertama, kelompok reaksoiner. Mereka cenderung menentang pembaruan. Kedua, kelompok yang menerima pembaruan dengan melibatkan unsur-unsur kritis terhadap masyarakat –baik dalam politik maupun sosial- tanpa mengubah pandangan dunia tradionalnya
Namun dalam tataran realistis kita tidak dapat memungkiri bahwa pengaruh dan dampak dari peradaban Barat tidak dapat ditolak oleh siapa saja, mengingat dinamika dan agresifitas yang telah dikembangkan sejak abad ke-16 itu. Jadi jelas, bahwa jargon modernisasi muncul sebagai usaha westernisasi dimana Barat sebagai pusatnya. Sunnah yang dalam hal ini adalah merupakan wujud dari aplikasi peradaban Timur (Islam) harus melakukan proses modifikasi untuk menyesuaikan kondisi tersebut. Tidak heran jika kaum modernis Islam selalu menjargonkan kontektualisasi agama, karena sedikit banyak mereka sudah terpengaruh oleh paradigma Barat. Dalam dunia tekstual terjadi pula transformasi ilmu-ilmu modern (baca: logika) yang dilakukan oleh al-madrâsah al-‘aqliyah (Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridla). Mereka cenderung menginterpretasikan teks, baik Alquran maupun Hadits, dengan menggunakan logika. Kita telah berada pada posisi Barat ketika pengadopsian literatur-literatur Islam terjadi secara besar-besaran. Dari bentuk-bentuk transformasi mengasumsikan bahwa adopsi dari dunia Barat adalah modern, sementara tetap pada posisi literatur sendiri dianggap konservatis, fundamentalis, tradisonal,dan lain-lain. Kita mungkin belum dapat menggunakan istilah yang tepat untuk peradaban di Jepang, yang dalam tataran praktis bisa dikatakan setaraf dengan konsep modern di Barat walaupun dengan cara tetap mempertahankan tradisinya.
Dalam wacana hubungan antagonis antara Barat dan Islam, kita perlu melihat bahwa yang diserang para orientalis dan pemikir Barat pada hakekatnya bukanlah Islam itu sendiri – meskipun kalangan tertentu masih memandang demikian– akan tetapi hanya beberapa aspek sekunder potret diri dan pandangan dunia tradisional Islam. Aspek inilah yang besar kemungkinannya dikikis oleh kelompok modernis Islam. Maka dalam mengadapi tantangan modernitas paling tidak ada dua konsepsi: pertama, tetap berpegang teguh pada teks dan nilai-nilainya. Kedua, dalam usaha pencapaian perkembangan dan kemajuan peradaban Islam, tetap perlu adanya transformasi pemikiran Barat dengan tidak menghilangan kaedah-kaedah nilai ajaran Islam, sehingga sunnah dapat dikatakan (dalam karya-karya Joseph schacht) sebagai ‘tradisi yang hidup’ dan tetap mengambil peluang interpretasi dalam dimensi ruang maupun waktu.

Ikhtitâm
Ketika kita sedang giat melakukan Islamisasi ilmu, budaya, ekonomi, hukum, dan masyarakat, kita harus merujuk pada Hadits atau sunnah (tentu saja sesudah al-Qur'an). Bahkan ketika merujuk pada Alquran pun, kita harus melihat Hadits sebagai penjelasanya. Pembaruan pemikiran Islam atau reaktualisasi ajaran Islam, harus mengacu pada teks-teks yang menjadi landasan dasar ajaran Islam. Semua orang sepakat pentingnya Hadits dan sunnah dalam merealisasikan ajaran Islam. Yang sering kita lupakan adalah bersikap kritis terhadap keduanya. Sikap kritis ini seringkali dicurigai akan menghilangkan Hadits atau sunnah. Kita lupa bahwa kritik terhadap keduanya telah diteladankan kepada kita oleh para ulama terdahulu. Bila para pembaharu Islam terdahulu memulai kiprahnya dari kritik terhadap Hadits dan sunnah, mengapa kita tidak mau melanjutkannya? Konon Imam Bukhari bermimpi, ia duduk di hadapan Rasulullah Saw, dan di tangannya ada kipas untuk mengusir lalat agar tidak mengenai tubuh Nabi Saw. Ketika ia bertanya kepada ‘orang-oang pandai’ apa arti mimpi itu, mereka berkata, "Anda akan membersihkan Hadits Nabi Saw. dari kebohongan." Inilah yang mendorong Bukhari mengumpulkan hadits-hadits yang sahih saja, dengan membuang ribuan hadits yang dianggap al-al-dha'if (lemah). Namun setelah sunnah berbentuk verbal maka hal tersebut harus mendorong kita untuk menterjemahkannya dalam bahasa modern, sebuah masa dimana dalam tataran realitas tidak dapat kita pungkiri akan keberadaannya.
Tantangan modernitas adalah sebuah keniscayaan yang tidak dapat kita hindarkan. Bias-biasnya mampu mempengaruhi kehidupan kita baik melalui paradigma pemikiran maupun tata kehidupan kita. Kita belum bisa keluar dari kukungan istilah bahwa mereka yang masih mempertahankan tradisi (sunnah) adalah konservatif, fundamentalis, radikal. Sementara kita lupa bahwa mereka yang modern, rasionalis pada satu sisi tertentu pun berada pada posisi yang sama. Jadi apa sebutannya, ketika suatu saat konsepsi semacam mempertahankan tradisi Islam mampu mempengaruhi seluruh lini kehidupan baik di Timur maupun Barat dan membawanya kepada kemajuan? Jadi saya yakin bahwa sebenarnya siapa lebih kuat merekalah yang berhak menamai suatu masa dan peradaban. Kalau kelompok literalis mampu mendominasi peradaban dunia, maka dunia akan berkiblat padanya. Tidak heran jika John L. Esposito mensinyalir akan adanya sebuah ancaman Islam (bagi dunia Barat) .

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home